Rahayuni Wulantika
Angin
yang bertiup lirih menjamah tubuh dengan lembut. Kuasanya hanya mampu
menerbangkan anak rambut yang tak terselip di telinga. Sore itu, kala matahari
berayun, seorang gadis tengah membenahi bukunya selepas belajar di taman
sekolah.
“Matematika
terus, emang nggak bosen apa?” celetuk seseorang saat jaraknya tak lagi jauh.
Ia membantu memasukkan pensil ke dalam kotak berwarna biru pastel milik gadis
itu.
“Nilai
matematikaku jelek sendiri, udah tiga kali remedial tetep aja nilaiku nggak
nambah-nambah, yang ada malah turun,” jawabnya seraya memasukkan buku-buku ke
dalam ranselnya.
“Emangnya
berapa?”
“Ulangan
pertama nilaiku 60, terus jadi 55, 55 lagi, dan terakhir 40.” Jawaban gadis itu
terdengar lesu.
“Aku
pernah dapet lebih jelek dari kamu, tapi aku nggak sedih.”
“Kamu kan cowok, wajar kali kalo
nilainya nggak bagus-bagus amat, aku cewek,” balasnya dengan telunjuk yang
menunjuk diri sendiri. “Sekelas, aku sendiri yang paling bodoh di matematika. Sekelas,
aku sendiri yang paling jelek—”
“Nggak ada hubungannya nilai jelek
sama muka ya, Ra. Siapa yang bilang kamu jelek? Biar aku tegasin sama mereka,
kamu itu orang paling cantik yang pernah aku temui,” selanya. “Terus kenapa
kalau nilainya jelek? Nilai itu cuma angka yang selamanya tetep jadi angka.”
“Kamu nggak akan pernah tahu jadi
aku, Bram.” Embun bening terlihat tertahan dari matanya, “Cuma aku, siswa yang
bisa masuk sekolah ini pakai beasiswa, itu pun beasiswa orang miskin. Kalau
nilaiku aja nggak bisa nolong, muka juga nggak bisa, terus apa yang bisa aku
unggulin?” Sera kesal dengan Bram, ia menarik ransel dengan kasar kemudian
pergi meninggalkan lelaki itu.
“Udah setahun pacaran kenapa kamu
nggak bisa ngertiin aku sih, Bram? Aku cuma pengen bisa sama kayak mereka.
Seenggaknya aku masih bisa di sekolah ini sampai lulus besok, nggak di drop out cuma gara-gara nilai,” ucapnya
lirih.
***
Dua jam sejak kepulangannya,
lagi-lagi Sera masih berkutik dengan buku penuh angka itu, matematika. Tangan
kirinya memijat pelan pelipis yang terasa pening. Kepalanya terasa lebih berat
dari tadi sore. Saking beratnya, kedua tangannya menutup muka, menyangganya
dengan siku di atas meja belajar.
“Habis makan malam nanti, Kak Aulia
bakal ke rumah.” Itu suara Bunda.
“Kak Aulia siapa, Bun?” tanyanya dengan
tangan yang masih menutup wajah.
“Tentor matematika kamu.”
Sera menoleh bersamaan dengan
tangannya yang diturunkan, yang menjawab bukan lagi Bunda melainkan kekasihnya,
Bram. Lelaki itu menyunggingkan senyum setelah bahunya ditepuk oleh Bunda.
“Maaf ya yang tadi sore,” katanya
pertama kali. Sera menatap manik lelaki itu yang berbinar dengan bibir yang
masih tersenyum, lalu gadis itu mengangguk pelan.
Perlahan, Bram mendekat, mengikis
jarak antara dirinya dan juga Sera. Dilihatnya beberapa kertas kuning di bawah
jadwal pelajaran.
Aku
bodoh, Aku payah, Aku jelek.
Lelaki itu melepas semua sticky note yang isinya adalah overthinking Sera, tentang matematika
dan juga tentang dirinya yang tak cantik. Ia merobeknya kemudian membuang
sobekan kertas kuning itu ke tempat sampah di dekat kakinya.
Tangan lelaki itu membelai sayang
rambut Sera, “Ra, kamu harus tahu satu hal. Kamu itu udah berusaha untuk bisa
matematika, kamu udah melawan diri kamu sendiri. Melawan rasa nggak bisa kamu
tentang matematika. Urusan nilai ulangan, mau bagus mau jelek, namanya juga
belajar, Ra. Belajar itu sambil berjalan.”
“Kalau nilaiku nggak bagus aku bisa
di DO,” embusan napasnya terdengar rapuh.
“Kamu tahu nggak kenapa siswa itu
bisa di DO sekolah? Karena dia narkoba, karena hamil, karena njelekin nama
sekolah, dan karena banyak absen. Kamu nggak nglakuin itu semua kan, Ra? Kamu
nggak akan di DO. Kalau belum bisa matematika bukan jadi alasan kamu di DO
sekolah. Sekolah juga punya pertimbangan
sendiri buat ngeluarin siswanya.”
Dari balik jendela di atas meja
belajar, lentera tiang di pinggir jalan mulai dihidupkan. Cahaya oranye yang
terpancar selaras dengan senja buta di ufuk barat terasa hangat, bukan hanya
hawanya yang memang hangat, tapi karena Bram yang menghangatkan situasi hati
Sera.
“Kamu nggak perlu jadi orang lain,
Ra. Karena mungkin orang lain itu malah pengin jadi kayak kamu.” Bram menunjuk
pigura yang digantung di dekat jendela, “Lihat, kamu juara olimpiade fisika,
kamu juga menang debat pengetahuan umum tahun lalu. Kamu pengin apalagi sih,
Ra. Kamu pengin cantik? Hei, kamu itu udah cantik. Apa yang perlu diubah lagi?”
“Aku cantik?” beo Sera.
“Kamu cantik banget, bukan hanya
cantik fisik, tapi kamu juga cantik hati. Oh iya, Kak Aulia itu sepupuku, aku minta
dia buat bantuin kamu supaya bisa matematika, kamu belajar yang rajin ya. Kalau
emang udah pusing, berhenti, jangan dipaksain.”
“Sera, Bram, makan malam udah siap!”
teriak Bunda dari dapur.
“Iya, Bun,” balas Sera tak kalah
berteriak.
***
Malam
itu, selepas makan malam bersama, Aulia datang dengan banyak buku matematika. Ia dikontrak eksklusif oleh
sepupunya—Bram—untuk mengajari Sera. Tentu, tak mudah untuk Aulia meluangkan
waktu, secara ia pun menjadi tentor di salah satu bimbel. Meskipun begitu, Bram
bukan orang yang mudah menyerah, ia menggunakan segala cara dan akhirnya
perempuan berkacamata itu bersedia datang.
“Kalau
mau hitung determinan matriks persegi berordo 3 itu ada dua cara, cara sarrus
sama cara ekspansi kofaktor. Tapi, cara ekspansi kofaktor itu jarang digunain,
alasannya karena ribet dan risiko salah hitungnya besar. Kita langsung ke cara
sarrus aja ya?”
Sera
memperhatikan dengan saksama, meski kadang dahinya berlipat-lipat pertanda
bingung, kadang juga matanya berulang kali mengerjap berusaha fokus.
“Coba
kamu kerjain halaman 48, nanti kalau kamu udah selesai kita bahas.” Sera tak
banyak bicara, ia hanya mengangguk-angguk menuruti perintah.
“Kopinya,
Kak.” Bram datang dengan nampan berisi tiga mug kopi berwarna putih, berlakon
seolah pelayan sebuah cafe.
“Password wifinya apa, Mas?” gurau Aulia
sesaat sebelum menyeruput kopi buatan Bram.
“Kalau
Sera lagi pusing, cantiknya plus-plus,” Bram berbisik dengan suara yang sedikit
keras, tentu alasannya supaya Sera mendengarnya. Dari balik kepala Sera yang
menunduk karena mengerjakan tugas, senyum malu terbit di bibirnya.
“Tuh,
Ra, dibilang cantik karena pusing. Matematika itu nggak pernah bikin pusing
tahu, yang ada menyenangkan.”
“Cih, menyenangkan apaan.” Bram membantah
dengan yakin.
“Karena
kamu males ngitung aja jadinya kelihatan susah, padahal kalau kamu tahu
dasar-dasar matematika, semua pelajaran tabras aja. Dikira—”
“Udah,
Kak,” Sera menyela Aulia yang terus menerus membahas matematika yang kini
sedang diperjuangkannya.
“Nah,
kamu salah di bagian ini. Diagonal samping itu di kurang semua, bukan kurang
tambah kurang gini. Lihat contoh Kak Aulia yang soal tadi, diagonal utamanya
dijumlah semua kan? Yang diagonal samping dikurang semua. Terus nanti ketemu
deh hasilnya.”
“Oh
gitu? Sebentar kak, aku ulangi lagi.” Sera mengulang semua pengerjaannya,
dihitungnya semua angka dengan teliti.
“Udah.”
Sera memberikan buku tulisnya kepada Aulia untuk diteliti sekali lagi.
“Nah,
gini kan cakep. Besok kalau ujian lagi ngerjainnya gini ya? Nggak usah
buru-buru, matematika itu bawa santai aja yang penting ngitungnya bener.” Sera
membalasnya dengan senyum sumringah.
***
“Gimana
remedial kamu?” Bram membuka suara. Bram dan Sera tengah berjalan menyusuri
lorong koridor kedua.
“Lebih
baik dari ulangan pertama.” Sera terdengar lebih bersemangat kala membahas
nilai remedialnya kali ini. Tak ada lagi gurat sendu yang menghias ujung
matanya, justru sedari tadi hanya senyum di bibir yang terus ia tarik.
“Biar
kutebak, 80 ya?” Sera menggeleng dengan senyum yang tak juga luntur. “100 kalau
gitu?”
“Aku
dapet 65.” Bram menoleh ke kiri dengan dahi yang berlipat-lipat, “Hah?”
“Kamu
bener Bram, nilai itu cuma angka yang selamanya tetep jadi angka. Aku udah
berusaha, tapi hasilnya ya segitu. Kalau aku ngeluh terus, artinya aku nggak menghargai
atas waktu dan usahaku selama ini. Kamu juga bener, aku nggak harus sama kayak
orang lain. Aku ya hanya aku saja, begitu pun orang lain.” Sera tersenyum di
akhir perkataannya.
“Perlu
kutambahkan, kamu itu cantik, asli aku nggak bohong, Ra. Cantiknya orang-orang
itu relatif. Ya, meskipun mayoritas orang bilang cantik itu putih, langsing,
dan tinggi. Tapi sayang, aku kaum minoritas. Aku nggak memandang cantik cuma
dari fisik aja.”
Sera
nampak menghembuskan napas lega, “Ternyata yang buat aku kayak gini pikiranku
ya, Bram? Aku yang ter-mindset untuk
jadi orang yang sempurna, padahal jika dipikir-pikir sesempurna apa pun,
orang-orang pasti punya celah kekurangan.”
“Orang-orang
yang seperti itu—termasuk kamu—adalah orang yang bersyukurnya kurang, kurang
menerima diri kamu sendiri. Ya seperti yang kamu bilang tadi, kebanyakan orang
terkungkung sama pikiran yang keliru.”
“Kata
Tatiana di lagu berjudul ‘Like You’ di penggalan ‘And you will find people who’ll help redesign you’ aku patenkan
orang itu adalah kamu, makasih ya, Bram. Kupikir kamu nggak akan bisa ngertiin
aku, tapi ternyata sebaliknya.”
Tangan Bram mengacak pelan puncak
rambut Sera, “Asik, aku orang istimewa dong!”
“Boleh peluk kamu nggak?” izin Sera
saat mereka sampai di dekat motor Bram. Tanpa memberi jawaban, tangan Bram
menarik lengan gadis itu kepelukannya, mendekapnya erat. Dikecupnya puncak
kepala gadis itu dengan lembut.
“Semangat remedial kelima ya! Semoga
nilainya nambah sepuluh,” ucap Bram lirih tepat di telinga kiri Sera.
***
Rahayuni
Wulantika—perempuan Jawa kelahiran Sabtu Legi, 6 Desember 2003 di Gunungkidul.
Semua orang memanggilnya, Tika. Tulisan kecilnya termuat dalam buku antologi
cerpen, ‘Regentropfen’ (2020), ‘Utuh Selamanya’ (2020), dan sembilan judul lain
yang terbit di tahun yang sama. Anak pertama dari dua bersaudara. Hobi menulis
juga menyanyi. Selain itu, ia juga menyukai suara gemericik air, aroma
petrichor, dan langit malam berbulan sabit.
0 Komentar