"Rudolf, Rudolf, Rudooolf! Ada
di mana crayonku?" teriak Vania kesal.
Sudah kesekian kalinya Rudolf
mengambil crayon milik kakaknya, Vania, dan seperti biasa ia lupa menaruh kembali
crayon tersebut. Vania selalu dibikin pusing dengan ulah Rudolf. Tiap hari ada saja
yang dilakukan Rudolf.
Vania masih saja menangis ketika
mama memberitahukan kalau kakeknya datang. Vania berjalan ke luar kamar sambil mengelap
air mata yang jatuh begitu saja di pipinya. Ia melihati Rudolf sementara duduk
di samping kakeknya.
"Kek,
jam berapa kakek tiba?" tanya Vania sambil mencium pipi kakeknya.
Vania
sengaja tidak menoleh sedikitpun pada adiknya. Melihat itu, timbul keisengan dalam
hati Rudolf.
"Kakak
lucu sekali dengan wajah begitu," ejek Rudolf. Mendengar Rudolf berkata demikian,
Vania yang masih kesal langsung meninju lengan adiknya. Kakek segera melerai mereka
berdua.
"Sudah!
Sudah! Kalian berdua harusnya saling menyayangi, bukan bertengkar terus menerus.
Tiap kali kakek datang selalu saja melihat kalian berdua tidak akur," kata
kakek dengan wajah tidak senang.
"Tapi
Kek, Rudolf selalu saja mengangguku!" Vania membela diri.
"Kalian harus tahu, tidak baik jika kakak beradik selalu bertengkar. Apa kalian mau seperti kisah Lao dan Mauni[1] ?" tanya kakek pada Vania dan Rudolf.
"Memangnya kenapa, Kek, dengan
Lao dan Mauni?" tanya mereka berdua bersamaan.
Kakek memberi isyarat pada Vania dan
Rudolf agar mendekat.
"Begini ceritanya, pada zaman
dahulu di sebuah kampung yang bernama Birmate, hiduplah dua orang bersaudara bernama
Lao dan Mauni. Mereka berdua kerap bertengkar. Hanya waktu tidur saja mereka berhenti
bertengkar. Tabiat mereka ini rupanya sudah diketahui oleh orang-orang di
kampung Birmate. Meski sudah dinasehati oleh tua-tua di kampung, mereka tetap saja
bertengkar.
Suatu hari, saat sedang mencari kayu
bakar untuk dijual, tiba-tiba mereka dikejutkan suara rintihan kesakitan.
Mereka berdua saling berpandangan. Tanpa dikomando mereka mencari dari mana asal
suara tersebut. Mereka ketakutan. Wajah mereka pucat pasi ketika melihat seorang
nenek dengan tampilan wajah yang mengerikan berdiri tepat di hadapan mereka.
Nenek itu memiliki wajah dengan sisi
sebelah yang baik dan normal sedangkan sisi wajah lainnya berlubang dan banyak sekali
belatung yang ke luar masuk lewat mata, mulut, hidung, dan telinga. Dengan mata
kemerahan dan napas yang memburu nenek tua itu menatap. Mereka bergidik ketakutan
dan berlari pulang sekencang-kencangnya.
Peristiwa di hutan hari itu membekas
dalam ingatan mereka. Mereka segera tahu jika nenek Suanggi[2] sementara
ini mengincar mereka berdua. Lao melihat Mauni dengan perasaan benci. Ia merasa
ini semua gara-gara Mauni yang mengajaknya mencari kayu bakar hingga mereka bertemu
dengan nenek Suanggi.
"Apa
kubilang, semua biang masalah dari kamu. Coba tadi kamu tidak mengajakku mencari
kayu, tentu kita tidak akan pernah bertemu dengan nenek Suanggi itu," kata
Lao dengan nada tinggi.
Mauni
tidak mau kalah, ia berkata dengan sengitnya," Jadi kamu menolak cari kayu
bakar? Terus kita mau hidup dengan apa coba? Bukankah satu-satunya mata pencarian
kita hanya dengan mencari dan menjual kayu bakar?"
Sudah
dua malam ini selalu saja terdengar dari kejauhan suara pekikan nyaring nenek Suanggi.
Setiap malam, mereka mendengar langkah-langkah kaki orang di sekeliling rumah,
Lao dan Mauni benar-benar ketakutan. Mereka seperti diteror oleh nenek Suanggi setiap
saat. Benar seperti kata warga kampong, jika nenek Suanggi sudah memilih orang
untuk dijadikan pengikutnya maka ia tidak akan pernah melepaskannya. Kecuali jika
orang-orang tersebut memiliki hati yang murni. Masalahnya sekarang, mereka berdua
tidak lagi memiliki hati yang murni.
Hari
ini bulan gelap datang lagi. Sesuai kepercayaan setempat, nenek Suanggi akan mengambil
‘makanan’[3] dari
kampung Birmate.
Lao
dan Mauni duduk sambil menahan takut. Mereka tidak bisa membayangkan apa jadinya
mereka nanti. Tanpa disadari mereka berdua yang duduk berjauhan kini semakin mendekat.
Mereka saling merangkul dan menangis. Ada rasa penyesalan dalam diri mereka berdua.
Lao
membelai rambut adiknya dan berkata, "Maafkan kakak, Dik."
Mauni
hanya bisa menangis sambil memeluk erat kakaknya.
Suara petir menggelegar demikian hebatnya.
Tiba-tiba muncul di hadapan mereka sosok yang tidak asing lagi. Wajah nenek Suanggi
begitu menakutkan. Mereka masih teringat sewaktu di hutan dulu, saat nenek Suanggi
menatap mereka pertama kali. Lao memeluk Mauni semaki nerat. Tidak ada lagi ketakutan
dalam diri mereka. Yang ada hanyalah kepasrahan.
Nenek
Suanggi tertawa terkekeh-kekeh. Tawanya membuat jantung siapas aja yang
mendengar berhenti berdetak. Nenek Suanggi mengitari mereka yang sementara berpelukan.
Giginya yang runcing dan panjang terlihat jelas. Matanya yang kemerahan tajam tak
berkedip menatap mereka. Mereka berdua segera menutup mata. Keringat dan air mata
jatuh bersamaan dan dengan sekali tepuk Lao dan Mauni berubah menjadi burung dara.
Mereka
berdua terbang menjauh dari rumah dan hinggap di atas pohon kenari. Bila malam tiba,
mereka akan bernyanyi dengan penuh kesedihan. Suara mereka penuh ratapan. Lao
dan Mauni menjadi burung dara yang penuh dengan penyesalan. Burung dara itu akan
berada di rumah orang-orang yang kakak adiknya sering bertengkar. Kicauan mereka
penuh dengan ratapan penyesalan dan sangat menyayat hati. Anehnya setiap kali
mereka hinggap dan menyanyikan ratapan penyesalan, penghuni rumah yang sedang dalam
pertengkaran akan menghilang dengan sendirinya.
Sampai sekarang di Alor, jika ada kakak
dan adik yang bertengkar terus menerus dan dari kejauhan terdengar kicauan burung
dara yang penuh ratapan menyayat hati, orang-orang segera tahu jika Lao dan Mauni
datang memberitahu jika malapetaka besar akan menimpa mereka. Entah itu ada
yang tiba-tiba saja menghilang atau mengalami kecelakaan dan langsung meninggal
di tempat.
“Begitulah yang terjadi sampai sekarang,"
kata kakek menutup ceritanya.
Vania dan Rudolf saling berpandangan.
Mereka bangun dan saling memeluk sambil meminta maaf. Ayah, ibu, dan kakek tersenyum
bahagia melihat mereka berdua. Dalam hati kecil, Vania dan Rudolf bertekad tidak
akan bertengkar hingga berlarut-larut. Mereka akan menjadi teladan bagi teman-teman
mereka dalam hal kasih dan pengampunan.
"Siapa
juga yang ingin jadi burung seperti Lao dan Mauni? Apalagi sampai harus menghilang
hingga mendapatkan malapetaka," batin Vania sambil tersenyum memeluk adiknya
Rudolf.
Tiba-tiba
mata Vania menangkap sesosok perempuan tua berdiri di samping jendela.
Perempuan tua itu menatap dirinya sambil perlahan-lahan darah segar menetes dari
mulutnya. [end]
[1] Cerita dari Pulau Kenari
[2] Suanggi adalah roh jahat seperti setan atau jin.
[3] Makanan mempunyai arti sesajen atau persembahan yang diberikan oleh warga setempat agar dijauhkan dari malapetaka
0 Komentar