Bancaan: Kearifan Lokal yang Sudah Mulai Terkikis {Ahmad Maujuhan Syah}

Indonesia adalah negara yang kaya akan suku dan budaya. Setiap daerahnya memiliki ciri dan kekhasan adat sendiri-sendiri. Negara maritim yang terdiri dari banyak pulau. Tidak mengherakan jika kita banyak melihat upacara-upacara adat tiap tahunnya atau bahkan sepanjang tahun. Bukan hanya adat kebiasaan saja bahkan makanan dan minuman pun memiliki kekhasan masing-masing. Makanan yang ada tidak bisa kita lepaskan dari budaya nusantara bahkan memiliki nilai kesakralan. Jadi makanan bukan sekedar makanan untuk memanjakan lidah atau mengisi perut yang kosong saja, akan tetapi ada makna yang terisat di dalamnya.

Ada banyak jenis upacara adat atau kebiasaan adat yang ada bumi pertiwi ini. Sedekah bumu misalkan yang dilakukan ketika musim panen tiba. Sedekah laut yang melepaskan kepala kerbau di tengah laut dengan ritual tertentu agar Sang Pencipta berkenan memberikan hasil laut yang melimpah. Banyak lagi contoh-contoh kegiatan adat yang lain, salah satu yang menarik adalah tradisi bancaan.

Bancaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kenduri, selamatan atau hidangan yang disediakan dalam selamatan. Sedangkan bancaan sendiri diistilahkan sebagai bentuk ritual khusus yang diadakan untuk memperingati hari atau momen bersejarah. Bancaan memang tradisi khusus yang ada di tanah Jawa. Biasanya bancaan di lakukan ketika bayi memasuki weton atau hari pasaran tanggal jawa. Bisa juga ketika bayi lepas puser atau masa pendak (masa bayi berusia 40 hari).

Bancaan juga biasa dilakukan ketika seseorang akan memulai sebuah usaha tertentu, misalkan akan membangun rumah, pindah rumah, memulai sebuah usaha bahkan ketika akan melakukan hajat nikahan. Bancaan merupakan ritual kecil yang di dalamnya akan terhidang sebuah tumpeng atau makanan-makanan khas daerah di Jawa.

Ritual bancaan tidak melibatkan orang banyak melainkan hanya tetangga-tetangga terdekat dan saudara-saudara terdekat saja. Tumpeng yang sudah tersaji akan di letakkan di tengah kemudian orang-orang akan duduk melingkar lantas ada satu orang yang dianggap alim untuk memimpin doa. Setelah doa selesai lantas tumpeng akan dibagi-bagi yang kemudian akan langsung dinikmati dengan makan bersama di tempat.

Terlihat sangat sederhana tapi sarat akan makna. Tersirat sebuah nilai di dalam ritual bancaan. Mulai dari penyajian tumpeng yang kebanyakan dari hasil bumi sendiri (meski seiring perkembangan zaman banyak aneka lauk yang disertakan) mengartikan rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan rizki yang di berikan. Kemudian bentuk tumpeng yang mengerucut mengartikan bahwa semua akan kembali pada yang pucuk (paling atas yaitu Allah ‘Azzawajal).

Duduk melingkar yang merupakan pengejawantahan siklus waktu yang terus berputar dari rahim ke bayi, ke anak-anak, ke renaja hingga sampai tua yang kan kembali ke tanah. Lantas makan bersama-sama yang mengartikan tidak ada tinggi sebelah, semua sama kedudukannya, semua meraskan rasa yang sama, tidak dibekadan. Kemudian semangat kekeluargaan dan gotong royongnya yang terlihat ketika guyub makan sambil bercanda satu sama lain.

Namun sayangnya, tradisi yang sudah turun-temurun ini lambat laun mulai terkikis oleh perkembangan zaman. Banyak keluarga-keluarga jawa yang mulai meninggalkan adat bancaan. Ritual bancaan digantikan dengan mengirim angpau atau membagi-bagikan uang saja. Bukan berarti membagi-bagikan uang adalah keburukan. Hanya saja rasa yang tercipta dari nilai bancaan menjadi hilang.

Banyak dari kalangan remaja jawa yang tidak mengerti arti bancaan. Bahkan ketika di tanya bancaan yang diketahui hanya bagi-bagi makan saja, selebihnya tidak tahu. Padahal ada banyak makna filosofi di dalamnya.

Bancaan merupakan kearifan lokal yang harus dilestarikan keberadaanya. Di ajarkan nilai-nilainya. Dan di praktikkan dalam kehidupannya. Semoga bancaan tetap lestari di bumi Pertiwi ini, hingga nanti cucu kita yang mengambil alih kemudi. Salam Nusantara dan jangan lupa bahagia.

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Yah namanya perkembangan jaman.. Segala kemajuan teknologi membuat kita perlahan lupa dengan kearifan lokal yang kalau tetap dijaga bakal menjadi sebuah daya tarik bagi wisatawan..

    BalasHapus