Harga Orang Asing

 



Oleh Briantono Raharjo



Apa yang timbul dalam benak kita, bila tiba-tiba dikirimi pesan penuh sapa hangat oleh teman yang sudah lama tidak bertemu? Tentunya, tanggapan akan berbeda sesuai situasi zaman. Kalau hal ini terjadi pada zaman mempertahankan kemerdekaan, tentu ada rasa haru di dada. Seringkali, timbul sugesti bahwa teman lama kita ini kembali menyapa karena ia baru saja melewati kondisi gawat darurat peperangan. Tapi tentu saja berbeda, bila menemukan hal demikian dalam situasi krisis ekonomi. Pada banyak kasus, mereka yang 'tiba-tiba; menyapa kita ini acapkali mengutarakan keperluannya untuk meminjam sejumlah uang.


Pinjam-meminjam uang pada dasarnya suatu hal yang lumrah. Bahwa setiap orang adakalanya terbebani dan terdesak oleh kebutuhan yang tak mampu ditanggung sendiri. Mungkin pula malu untuk menengadahkan tangan pada orang tua dan keluarga masing-masing. Namun, hal itu merupakan momok, apabila terjadi dalam kebiasaan masyarakat yang mudah lupa saat transaksi uang dan berniaga. Acapkali, si peminjam pura-pura lupa atau malah tak menggubris bila dihubungi soal penagihan. Lebih parahnya, mungkin tak jarang para pemilik piutang ini harus berhadapan dengan pidana ketika membutuhkan uangnya kembali. Jika boleh membahas ini lebih lengkap, situasi ini kerap terjadi pada skema pertemanan bahkan kekeluargaan.


Menanggapi hal semacam ini, saya teringat petuah Pakde di kala kami sedang mengobrol antarsofa:


“Dulu, ketika teman hendak meminjam uang, Nenek menyarankan Pakde untuk memberinya setengah dari jumlah yang diminta. Mengapa demikian? Supaya  tidak terlalu banyak pikiran lalu mengejar-ngejar teman yang sedang butuh itu untuk segera mengembalikan.” 


Bertahun-tahun kemudian, agaknya himbauan ini manjur dalam mengelola kecurigaan dan kecemasan saya akan teman dan kerabat sekitar yang hendak meminjam uang. Bukankah jauh lebih nikmat memberikan lalu melupakan, ketimbang meminjamkan lalu menunggu sambil berharap-harap cemas?


Agaknya, pilihan mengikhlaskan memang jauh lebih realistis, berhubung sebagian besar peminjam uang yang pernah ditemui dalam hidup  pasti punya segudang alasan bila ditagih. Jangankan hanya orang biasa-biasa saja, saya pun berhadapan penyakit 'lupa akut' ini dari  seorang 'petugas' pengelola gaji karyawan untuk masalah yang sebenarnya tidak butuh uang berjumlah besar, bahkan tidak ada biaya sama sekali. Memang akhirnya masalah ini pun tuntas, namun tetap timbul sebuah tanya: äpa yang terjadi sehingga menunggak dan mangkir itu kerap jadi budaya multidimensi?


Boleh jadi, merahasiakan alasan dan derita yang menyebabkan harus berhutang itu adalah sebuah naluri tersendiri, agar tak jadi aib banyak orang. Semasa saya kuliah, salah seorang peminjam uang saya dulu saat kuliah pun hanya berani meminta pada para pelanggan yang rutin membayar tunai dagangannya. Apa pasal? Rupanya catatan piutang milik sang peminjam yang merupakan pedagang mi instan ini pun cukup bertumpuk. Sekedar tambahan informasi, yang berhutang mi instan dagangannya pun rata-rata adalah orang berada. Pedagang mi instan ini pun bertutur bahwa mereka yang berhutang itu justru rajin membayar kontan untuk keperluan mereka yang lain. 


Barangkali, memang patut diakui ada yang salah dalam cara memandang prioritas ketika berhadapan dengan kedekatan. Dekat dengan seseorang, seolah-olah mereka yang dekat harus memberikan sejumlah keringanan untuk kita. 'Dekat' yang kerap kali terkait erat dengan simbol 'kepercayaan', senantiasa dialihfungsikan untuk kompromi dan kompensasi demi syarat untuk mendapatkan penilaian bahwa kedekatan itu bernilai 'tulus'. 'Dekat' itu rasanya belum paripurna, bila seseorang belum merelakan dirinya dieksploitasi atau berkorban demi orang terdekatnya.


Tak dapat dipungkiri bahwa kedekatan antarmanusia itu selalu memiliki sejumlah syarat pengorbanan, seperti halnya sifat-sifat berharga yang lain. Contoh sederhananya,  sejak kita dilahirkan ke dunia ini, ibu kita perlu merasakan rasa sakit dan kepayahan berbulan-bulan lamanya agar sosok kita bisa hadir 'dekat'. Setelah itu, sering kali kita lupa hakikat diri, bahwa tubuh dan jiwa ini sanggup tumbuh dan lahir bukanlah mutlak sebuah gejala alam, melainkan sejatinya karena pengorbanan. Bagian mencengangkannya sekaligus membuat heran (sedikit) tak bertepi: mengapa justru kita membayar tepat waktu dan melunasi janji justru seringkali pada orang asing yang kurang dikenal?


Jika boleh saya melompat pada suatu asumsi, jawaban paling akurat perihal kerelaan kita patuh pada suatu hal yang asing adalah 'sistem' dan 'ketundukan manusia pada hal yang belum diketahui. Sebagai contoh, seorang bayi yang masih rapuh dalam menalar tentu takkan mengkritisi cara orangtua mengajarkannya berjalan. Namun, seberapa aman bagaimana orang tua mengajarkan bayi berjalan ditentukan oleh standar ekonomi dan biologi dari  insitusi kesehatan, berikut contoh kasus sukses dan kasus fatal dari orang-orang sekitarnya.


Bagaimana kalau pada titik ini, kita sepakati bahwa manusia itu cenderung patuh pada sesuatu, ketika ia menyadari batas kerawanan dan kerapuhan diri akan suatu hal yang tak bisa dihindarinya?


Contoh lain tentang mengapa kita cenderung patuh pada sesuatu yang asing, mungkin bisa disimak pada kisah satir dalam buku humor berikut: Ketika sebuah kebun binatang menerapkan harga tiket 50 ribu rupiah untuk bisa segera memulihkan modal perawatan, para pengunjung yang mampir hanya dibawah ratusan orang setiap harinya. Tatkala manajemen kebun binatang memangkas harga tiket hingga dibawah 20 ribu, barulah para pengunjung membeludak. Tentu saja karena harus memangkas harga demikian tajamnya. Biaya perawatan pagar pelindung hewan nyaris tak jadi prioritas, dibanding biaya-biaya untuk memastikan hewan-hewan dalam kebun binatang tersebut tetap sehat dan prima.


Suatu ketika, sekitar lusinan sektor kandang besi itu pun lapuk. Sialnya, yang berada dalam selusin kandang itu adalah hewan buas bergigi tajam. Tatkala singa, macan tutul, dan buaya membobol kandang mereka masing-masing, beramai-ramai orang meminta pada pengurus kebun binatang untuk mendatangkan pasukan penangkar hewan. Khalayak pun patuh saja ketika para pengurus menetapkan tarif cukup tinggi untuk jasa para penjinak, hingga setiap orang merelakan uang ratusan ribu supaya makhluk-makhluk bergigi tajam itu segera ditangani. Disinilah hikmah itu terjadi: orang akan membayar biaya yang pantas, ketika merasakan sendiri bahaya di balik nafsu iming-iming gratis dan diskon.


Keberadaan media sosial sebagai contoh nyata perkembangan teknologi agaknya punya potensi berlebih agar masyarakat bisa memasang 'harga orang asing'ini tatkala diberikan harapan palsu. Belum ada setahun ini, seorang pria yang tak saya kenal mengunggah cuitan sederhana di twitter, bahwasanya dia mengikhlaskan hutang dengan síejumlah rincian dengan menyebut nama-nama orang yang meminjamnya. Kendati diunggah dengan imbuhan kata íkhas, dengan menyebut langsung nama pelakunya, ini adalah taktik terselubung untuk membuat para peminjam merasa malu. Lebih-lebih, meski dinilai bahwa pernyataan ini penuh kontroversi, tetap saja memiliki khasiat ampuh untuk memanen rasa malu di tengah masyarakat kita yang biasanya 'tidak enakan'.


Meski demikian, harga orang asing ini bukanlah obat yang selalu ampuh untuk membangunkan amnesia orang-orang yang tak punya malu lagi. Celakanya, orang seperti ini pun tak sedikit, lebih-lebih karena mereka sanggup oleh peluru-peluru hukum transaksi elektronik yang lebih empuk menyasar pada ucapan tidak menyenangkan dan dicap kebohongan ketimbang penyelewengan transaksi elektronik. Saya kemudian membayangkan dengan cemas, bila di masa mendatang akan tiba kemarau yang membuat manusia sulit untuk menumbuhkan malu, bukan tidak mungkin harga orang asing akan beralih wujud menjadi harga hukum rimba.


Saat harga hukum rimba ini berlaku, bukan tidak mungkin, kita akan lebih sering bersyukur ketika tidak mempercayai orang lain.

 

(Jakarta Selatan, 22 Januari 2021)



Briantono Muhammad Raharjo. Seorang laki-laki penyuka martabak, soto, dan jus alpukat yang merupakan ayah dari seorang anak bernama Argenta.  Saat ini pria yang biasa disapa Brian ini menjabat sebagai analis kepuasan pelanggan di divisi wholesale Telkom Indonesia. Brian yang pernah meraih juara 2 festival band tingkat perusahaan ini telah menelurkan karya solo berupa kumpulan cerpen bertajuk "Kelelahan yang Kita Rindukan". Sehari-harinya, Brian senang membaca buku-buku berbau jurnalistik, berlari, bermain sepeda, dan memainkan musik modern rock dalam instrumen beduk Inggris.

Posting Komentar

0 Komentar