Puisi-Puisi Yoga Palwaguna


 



REKONSILIASI (I)


aku selalu berusaha

menghitung jarak

antara sepotong ayam

pesan antar dengan

telur kecap buatan ibu

dan mencatatnya dalam

rancangan proyek pembangunan

jembatan:

setahun tanpa cium tangan/

tiga pertengkaran besar/

tujuh pertengkaran kecil/

berliter-liter air mata/

sepaket

ketaksepahaman

 

aku ingin

membangun jem

batan

antara peluk

I bu yang merah jam bu

dengan kamar

ke labu

tem

pat pelarian

ku

 

yang terpisah o leh

           

kata

                        kata

 

 

 (Jagakarsa, Desember 'dua puluh)

 


REKONSILIASI (II)

 

ibu, satu matahari

telah terbenam

di antara kita

            kasih sayangku

            kasih sayangmu

            gagap ditelan gelap

            gagal melihat bulan

tapi ibu, aku

tak mau kembali

pada kemarin

            yang hanya cerah

            karena tidak mengerti

seperti engkau, ibu

aku ingin mengasuh

cinta, agar tumbuh

jadi pintar tanpa

menyakiti

 

(Jagakarsa, Desember dua puluh)



REKONSILIASI (III)

 

mulutku telah menjadi gudang

bagi kata-kata dan cerita

            ponorogo, bugis,

            stonewall, atlantis,

            taiwan, hingga belanda

dan lidahku telah menyiapkan kostum

dari lidah orang-orang lain

            laki-laki, perempuan, dan yang bukan keduanya

            Elio, Simon, Blanca, hingga Riri, Lini, dan Hendri

            Judith, Jack, Dede, juga yang kulupa namanya

tetapi mungkin yang kita butuhkan

bukan jembatan

            karena kata-kata dan cerita hanya

            menambah luka ketika dipancangkan

            pada hati yang belum menyiapkan diri

mungkin, ibu

yang kita butuhkan adalah upaya

untuk menumbuhkan hati

agar cinta kita di dalamnya

berhenti picik dan kerdil

 

karena meski jauh, mau tak mau

cinta yang terus membesar

pada akhirnya tetap sampai

 

 (Jagakarsa, Desember 'dua puluh)



TIGA WAJAH WAKTU (DUA PULUH DUA PULUH)

 

(I)

Ibu membaluri kalender

dengan soda dan daun pepaya

tetapi waktu tetap keras dan alot

          

           kesabaran kami

           kian kehilangan gigi

 

(II)

kian lebat

perpisahan

padahal waktu

tinggal gerimis

 

         sempatkah kita

         mencari teduh?

 

(III)

tandus waktu

seolah bertanya

apakah aku masih

percaya bahwa cinta

seperti paku

 

          mampu tumbuh

          meski di batu

 

(IV)

nasib

kian mendung

   

          di tiang jemuran

          menggantung basah

          kesedihan

 

 

(Jagakarsa, ‘dua puluh)

 


 

Yoga Palwaguna

Penulis dan editor lepas. Anggota komunitas menulis Kawah Sastra Ciwidey dan Prosatujuh. Sejak 2019 ikut terlibat sebagai tim penyelenggara Bandung Readers Festival. Bisa dihubungi di ypalwaguna@gmail.com atau @ypalwaguna (IG dan Twitter).


Posting Komentar

0 Komentar