Sakti Ramadhan
Sebulan pascameniup lilin dan pacarnya meluncurkan
doa-doa baik, Don masih belum menemukan tanda-tanda bahwa harapan pacarnya akan
segera terwujud: Don masih bangun kelewat siang lalu tidur
lagi hingga menjelang magrib dan ia akan menyambut malam dengan mata yang
kinclong tanpa melakukan sesuatu yang berarti selain bermain game perang di gawainya; memaki setiap
kali kalah padahal kesalahan utamanya ada pada ketidakmampuannya menembak musuh
dengan benar sekaligus keahlian terbaiknya: menekan tombol start lebih banyak ketimbang menyingkirkan lawan.
Barangkali ia akan memahami bahwa apa yang dilakukannya
kelewat sia-sia, jika pada waktu-waktu itu ia masih memiliki kesibukan lain
seperti yang pernah dilakukan sebelumnya, sampai datang sebuah surat permohonan
maaf bahwa tenaganya sebagai pendidik sudah tidak dibutuhkan dengan bahasa yang
lebih nyaman di hati; sekolah sedang menghadapi periode keuangan sulit; penyesuaian
jadwal belajar membuat mata pelajaran yang Don ajarkan tidak lagi mendapat
tempat.
Surat itu masih ada di meja kamarnya, dibiarkan
tergeletak dan berdebu, serta terakhir kali dibacanya lagi surat itu, ia berpikir bahwa permohonan maaf itu
juga berarti permohonan maaf yang disampaikan kehidupan padanya karena akan
membawanya dalam situasi menunggu yang entah sampai kapan.
Siang
itu, ia hanya merubah posisi tidurnya menjadi tengkurap, mengambil gawai dan
menekan game yang semalam telah
menyajikan pertempuran hebat: Ayah Don disumpahi berumur pendek oleh orang yang
ditemuinya secara acak; setelah sebelumnya Don mengatakan bahwa orang itu lahir
dari buah pepaya. Namun, kali ini Don tidak bisa memasuki game-nya. Hanya logo jam
pasir yang terus bergerak.
Request Timed Out.
Suara motor berhenti di depan rumah, memanggil namanya.
Don tidak menjawab dan suara pintu terbuka, gesekan jaket dengan tubuh
terdengar mendekat. Don melihat seseorang yang masih mengenakan helm di depan
pintu kamarnya yang terbuka.
“Kenapa
tak bisa dihubungi?”
Don
melenguh, “Aku baru bangun.”
“Kau
sudah buat lamaran?”
“Iya,
sebentar lagi.”
“Aku
dapat kabar sedang ada lowongan. Mau?”
“Kirim
saja ke emailku.”
Seorang itu membuka helm dan menuju dapur. Untuk sejenak,
Don membayangkan sedang melihat dengan mata orang itu yang sebentar lagi akan
menemukan sisa nasi goreng di atas penggorengan, cangkang telur di atas wastafel,
mangkuk dengan sisa kuah mi ayam, dan piring dengan dengan bumbu ketoprak yang
kompak mengundang lalat-lalat.
Kemarin Don berniat untuk mengusir lalat-lalat itu.
Kemarin lusa ia berniat mengusir lalat-lalat itu. Kemarinnya kemarin lusa ia
berniat mengusir lalat-lalat itu; nanti ia berniat mengusir lalat-lalat itu dan
tak lama suara keran air wastafel terdengar dan sejenak kemudian hilang. Seorang
itu kembali ke hadapan Don.
“Kau
harus beli masker untuk menemanimu membersihkan semua itu.”
“Kamu
hanya terlalu cepat datang, Sayang,” timpal Don.
“Tak
ada yang menjamin semuanya beres walau aku datang besok.”
“Bukan
begitu, sabunnya habis. Omong-omong, kamu mau ke mana?”
“Sudah
kusampaikan lewat chat tadi.”
“Tak
bisa kubuka.”
“Aku
harus bergegas. Jangan lupa makan,
ya.”
“Harus
sekarang?”
Orang
itu mengenakan helm lagi, “Ya.”
“Tunggu,
terakhir kamu isi paket internet kapan, Sayang?”
“Seminggu
yang lalu.”
“Aku
juga baru isi paket internet belakangan ini, tapi entah kenapa sepertinya
sekarang tak bisa digunakan.”
“Mau
buat apa?”
“Menghubungi
Ericko, katanya dia mau kirim nasi padang hari ini. “
Seorang
itu pun membiarkan Don menggunakan internet ponselnya.
“Bagaimana?”
“Ceklis
dua, sepertinya nunggu dia bangun.”
“Ya
sudah, pegang ini.”
“Tak
usah, Sayang. Aku nunggu Ericko saja.”
“Kau
tak boleh menebak kapan dia bisa bangun, kan?”
“Tapi
kamu masih ada ongkos?”
Tak ada jawab untuk pertanyaannya. Seorang itu pergi dan
Don akhirnya bangkit. Dengan mengepal sejumlah uang ia segera bergegas. Hanya
butuh waktu berjalan kaki dua menit untuk sampai ke rumah makan terdekat.
Sebelum waktu-waktu ini, Don pernah mengutuk tempat
makanan karena sekali waktu ia pernah mencicipi masakannya yang hambar, meski
sekarang ia paham keunggulannya: porsi nasi yang berarti dua jika don memesan
satu; yang berarti satu jika Don memesan setengah dan penjualnya yang kini
telah hapal menu yang akan dipesan Don.
Tempat makanan itu berada di perempatan, di antara tukang
pulsa dan kios yang sering berganti-ganti penyewa mulai dari tukang cukur
rambut, bengkel motor, dan yang terakhir ini dibiarkan kosong. Di kios kosong
itulah ia sering melihat segerumbil bocah seperti apa yang dilihatnya kini. Tangan mereka semuanya terisi gawai, tempat ke
mana mata mereka tertuju.
“Maju,
maju, sisa satu orang,”
“Di
sebelah kanan! Awas yang di belakang!”
“Iya,
iya ini lagi maju,” dan tak lama kemudian, bocah yang sama memekik, “Aduh
kalah, kenapa gak bilang ada yang di sebelah kiri?”
“Tadi
udah dikasih tahu, masa gak dengar?”
“Bohong!”
“Sudahlah,
mengandalkanmu memang kesalahan yang fatal.”
“Kamu
yang tak berguna, sedari tadi hanya menembak pohon.”
Don tak perlu memerlukan banyak waktu untuk memahami.
Suara yang keluar dari gawai mereka adalah suara yang sering terdengar pula
dari gawainya. Ia kembali berjalan dan selama menuju rumah makan itulah
kepalanya dipenuhi pikiran.
Berhari-hari yang jauh ke belakang, ia gusar setiap kali
melihat sekelompok yang serupa bocah tadi menghabiskan waktu untuk memaki. Ia
membandingkan dengan apa-apa yang ada di masa lalunya saat seusia mereka.
Berkumpul dan berlari, mengasah otak agar tidak menjadi seseorang yang
dirugikan dalam permainan. Tidak seperti sekarang yang mana nampaknya mereka
lebih sering menekuk lutut ketimbang melangkah. Don sempat mengira bahwa esok
atau tiga belas tahun ke depan negara yang dipijakinya hanya akan terisi oleh
orang-orang yang ahli menyalahkan, pandai beralasan, dan mulut-mulut serupa
pabrik omong kosong.
Yang mana ia juga menyadari, kalau sekarang ia adalah
salah satu dari sekian orang yang mungkin pandai memiliki kemampuan tersebut
mungkin besok atau tiga belas tahun ke depan.
Don mulai mengunduh game-game
pada gawainya semenjak ia merasa dari bagian orang-orang yang terjebak waktu
kosong. Saat itu, beberapa rekan kerja mengajaknya ke sebuah tempat makan
masakan laut yang cara penyajiannya digelar ke hamparan plastik. Don baru
pertama kali mampir ke sana dan sebagaimana setiap awal, selalu ada kebingungan
dan kebingungan itu diisi dengan diam.
“Aku
omnivoranya omnivora,” kata Don saat diberikan kertas menu dan pulpen. “Ikut
saja.”
Temannya mengeluarkan gawai dan yang lainnya mengekor,
hanya Don yang masih diam.
“Kau
ikut, Don?”
Don menggeleng dan bertanya apa yang dimaksud. Lalu
rekannya menjelaskan cara permainannya yang saat itu ia hanya menangkap tembak
dan tembak. Don pun mengeluarkan gawainya, ia bermaksud menghentikan upaya
sia-sia rekannya yang terus menjelaskan cara bermain permainan itu. Ia teringat
bocah-bocah di rumah kosong itu, ia teringat semua makian dan harapan yang
runtuh di pundak mereka.
Rencananya, ia akan segera menghapus game tersebut sepulang dari tempat makan itu. Meski akhirnya apa
yang ia rencakan sangatlah berbelok. Ia tetap menyimpannya dan akan membukanya
untuk melawan waktu kosong. Waktu kosong yang sebenarnya ia ciptakan sendiri
setelah merasa tanggung jawabnya bisa ia lakukan di lain hari. Waktu yang
semakin kosong saat rekannya tetap berada di tempat kerja yang sama, sedangkan
ia berada di rumah yang membuatnya semakin rutin melihat bocah-bocah di rumah
kosong serta menarik kutukannya terhadap lauk tempat makan di dekat rumahnya
itu.
Saat ini, ia mesti bergegas untuk mengisi perut agar bisa
berpikir akan hal-hal yang akan mengubah hidupnya: membuat lamaran atau
mengasah kemampuannya di bidang lain—hal-hal yang sudah sejak lama ia idamkan.
Bekerja dengan berangkat dan pulang di waktu yang ditentukan telah mengubur
kesempatannya untuk terus mengasah minatnya. Ia merasa punya keahlian lain yang
bisa digunakan untuk hidup. Ia merasa, suatu saat ia bisa hidup dengan itu.
Sekaranglah saatnya.
“Sudah
kubilang musuh-musuh itu bodoh! Siapa yang bisa menang melawanku?” celetuk
salah satu bocah tadi yang ia dengar karena langkahnya sudah semakin dekat
dengan mereka.
Don melangkah terus menuju rumah makan, dan saat ia hanya
butuh belok untuk masuk ke sana, langkah Don terus lurus dan pelan, menuju
sebuah kios bertuliskan kuotapedia.
Di
sanalah Don berkelok. [end]
Tangerang, Januari 2021
Sakti Ramadhan, sehari-hari mengajar pelajaran komputer di sekolah dasar. Sering membaca, kadang menulis. Bergiat di komunitas Prosatujuh.
0 Komentar