Oleh Erwin Setia
Bertahun-tahun lamanya saya memimpikan betapa menyenangkan memiliki rak-rak
penuh buku di dalam rumah. Saya mengira punya banyak buku adalah hal
yang sepenuhnya menyenangkan. Sesungguhnya perkiraan saya tidak begitu meleset.
Akan tetapi, beberapa bulan terakhir, ketika nafsu saya membeli buku persis seperti nafsu Erling Haaland
mencetak gol, saya menyadari bahwa di antara hal menyenangkan selalu ada masalah
yang menunggu dipecahkan.
Dalam setengah tahun ada empat rak dan hampir seribu buku
baru bertambah di rumah saya. Sebagian buku itu saya jual, sebagian lain—yang
jumlahnya lebih banyak—menjadi koleksi saya, menunggu untuk saya baca suatu saat.
Ketika buku yang saya miliki masih segelintir, saya tak pernah memikirkan soal menyusun
buku di rak. Tetapi, ketika kurir-kurir pengantar paket terus-menerus mengantar
buku-buku ke rumah saya, rak-rak
berdiri kokoh dan anggun, mau tidak mau saya jadi harus memikirkan cara terbaik
menyusun buku. Kalau ada ribuan buku di rumahmu, memutuskan dengan cara apa kau
menyusun buku sama peliknya dengan memutuskan dasar negara atau hukuman untuk terdakwa
kasus kakap. Sekali kau
salah mengambil keputusan, kau harus mengatur ulang buku-bukumu dan walaupun menyusun
buku-buku adalah hal menyenangkan, bukan berarti tak akan ada keringat yang
mengalir dari tubuhmu—jangan-jangan kebahagiaan dan rasa letih memang ditakdirkan
berpasangan.
Jadi, saya pun menyusun buku-buku. Bagaimana cara terbaik
menyusun buku-buku di rak? Mungkin tidak ada cara terbaik untuk perkara ini atau
semua cara adalah cara terbaik. Cara menyusun buku paling klasik barangkali dengan menyusunnya secara alfabetik
berdasarkan judul atau nama penulis. Dan itulah yang saya lakukan. Di satu baris
rak berisi buku-buku karya pengarang yang sudah wafat saya menderetkan buku
Anatole France hingga William Faulkner; di bawahnya, di rak berisi buku-buku pengarang
perempuan saya menderetkan karya Annie Proulx hingga Yoko Ogawa; di rak lain
berisi buku-buku penulis Indonesia saya menderetkan karya Abdurrahman Wahid
hingga Zen RS, dan begitu seterusnya.
Apakah cara menyusun buku secara alfabetik itu adalah cara terbaik menyusun
buku? Saya tidak tahu. Hanya Yanagihara, novelis Amerika Serikat bernama Jepang peraih
Booker Prize menerapkan cara itu. Dia punya 12.000 buku di apartemennya di
Manhattan. Jadi, saya tidak
merasa kesepian. Ada Hanya Yanagihara dan mungkin ribuan pencinta buku
lain yang menyusun bukunya dengan cara itu.
Tetapi, jelas itu bukan satu-satunya cara. Georges
Perec dalam esai “Brief Notes on the Art and Manner of Arranging One’s Books” pernah
menyebut beberapa cara menyusun buku, di antaranya: secara alfabetik,
berdasarkan benua atau negara, warna buku, tanggal pembelian, tanggal penerbitan,
format, genre, periode utama sejarah kesusastraan, bahasa, prioritas untuk dibaca,
jilidan, dan serial. Dalam wawancara dengan The New York Times, Javier Marias
mengungkapkan caranya menyusun buku-buku: “(Saya menyusun buku-buku di rak)
Berdasarkan bahasa dan negara asal (tergantung, sih), juga dalam urutan kronologis
yang ketat dari tahun kelahiran si penulis. Jadi, bukan berdasarkan genre. Di
rak bagian penulis-penulis Britania, umpamanya, A. W. Kinglake (pakar sejarah Perang
Krimea) saya letakkan lebih dulu daripada Elizabeth Gaskell dan Charles
Dickens; dan Kapten Sir Richard F. Burton lebih dulu daripada Wilkie Collins.
Dengan cara ini, dalam sekilas pandang, saya bisa melihat siapa sezaman dengan siapa,
tak peduli apakah mereka novelis, penyair, ilmuwan, atau esais.”
Sebetulnya ada cara lain—sebuah cara yang banyak dilakukan
oleh orang-orang di benua mana pun—yaitu dengan tidak menyusunnya dengan cara tertentu
alias membiarkan buku tersusun sembarangan dan berantakan seakan-akan menyerahkan
kepada takdir agar buku-buku itu memilih cara sendiri untuk menyusun diri masing-masing.
Meskipun, terdengar serampangan, sebenarnya cara ini merupakan cara tersendiri:
menyusun buku dengan cara tidak menyusunnya. Ini seperti ungkapan orang ‘tidak memilih
adalah pilihan juga’ atau ‘tidak berpolitik adalah bagian dari berpolitik’.
Selain membacanya, bagian terbaik dari memiliki buku adalah
menyusunnya di rak. Jadi, kalau ada orang yang mengernyitkan keningnya dan bertanya
dengan nada keheranan tentang alasan saya membeli banyak buku (yang belum tentu
saya baca semuanya), saya bisa menjawabnya dengan dua cara. Agar terdengar luhur
dan penuh niat baik kepada generasi penerus, saya bisa mengatakan, “Tak apa-apa.
Saya mengumpulkan banyak buku untuk dibaca oleh anak-cucu saya.” Jawaban lain
adalah yang baru saya pikirkan hari ini, “Tak apa-apa. Saya mengumpulkan banyak
buku agar saya bisa memandangi tubuh kurus dan gempalnya di rak, lalu menyusun mereka
seperti jenderal menyusun prajurit dalam barisan. Melakukan hal semacam itu saja
sudah menyenangkan bagi saya. Terdengar aneh? Hmm, bukankah banyak hal menyenangkan
yang memang terdengar aneh?”
(Tambun Selatan-Bekasi, 4 Februari 2021)
0 Komentar