Oleh Jihan Mawaddah (@jihanmw)
“Bayi merah itu dibiarkannya seharian. Beruntung
Ibu Rajab yang mengetahui kondisi anaknya bersegera mencari orang untuk
mengasuhnya. Rajab hampir saja hilang akal jika bukan karena terhibur oleh bayi
itu. Dinamainya bayi itu Nira. Nira untuk Suryani-Rajab. Nira untuk pohon
siwalan yang menemani hariharinya dan membuatnya, betapapun juga, menjadi
lelaki yang mencintai bayi dari perempuan yang sangat dicintai dan harus
dihabisinya dengan tangannya sendiri.”
(Pohon Nira Bengkok di Belakang Rumahmu)
Entah bagaimana saya membaca Pohon Nira Bengkok
seperti membaca karya Ahmad Tohari di masa kini. Cerita yang sebenarnya
sederhana dan dekat dengan keseharian kita. Namun menyisakan banyak hikmah,
pelajaran, sekaligus juga kenangan yang mendalam setelah selesai membaca buku
ini.
Penulis menceritakan detail kejadian dengan latar
belakang tempat yang berhasil membawa saya untuk ikut dalam cerita tersebut.
Seolah-olah saya melihatnya secara nyata.
Ceritanya mengalir, melewati dimensi waktu tokoh
utama. Seorang gadis bernama Nira dengan segenap kisahnya di masa lalu yang
mungkin banyak terjadi di sekitar kita. Namun kita tak tahu. Atau mungkin kita
tak mau tahu.
Nira menurut saya adalah representasi gadis mandiri yang
cerdas dan penuh mimpi. Kerja kerasnya, sifat jujurnya, dan juga parasnya tentu
saja banyak menyita perhatian lawan jenisnya. Namun siapa yang dipilih Nira?
Lelaki yang lebih dewasa di depan matanya, yang selalu menyelesaikan
permasalahannya dan membuat hatinya hangat? Ataukah pada teman sebayanya yang
tampan dan selalu membuat hatinya berdebar?
Sebagai pembaca, mana yang akan kita pilih? Lelaki
yang membuat hati kita hangat atau yang membuat hati kita berdebar?
Pohon Nira Bengkok bercerita tentang kehidupan seorang
remaja dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Keluarga yang tak utuh,
ekonomi yang jauh dari kata mapan, serta problem yang berasla dari dirinya
sendiri.
Seperti yang
kita tahu, apa saja sih masalah seputar remaja itu? Kalau bukan soal identitas
diri, percintaan, dan keluarga, mungkin soal persahabatan. Namun Nira seolah
membawa semua beban itu di usianya yang belia.
Kalau dikatakan cerita yang kompleks sih tidak,
namun sebagai penulis pemula saya jadi banyak belajar lewat Pohon Nira Bengkok
bagaimana membangun konflik yang menarik dari bab ke bab. Tidak hanya cinta,
namun juga soal kerja keras, tanggung jawab serta cinta yang tulus.
Meski konflik yang dibangun sederhana, namun penulis
mampu mengeksekusi keseluruhan jalan cerita yang diinginkan menjadi satu
kesatuan yang apik dan tidak terduga. Sebagai seorang pembaca, saya senang jika
buku yang saya baca memiliki akhir yang pasti. Tidak menggantung. Meskipun ini
dikembalikan lagi ke selera pembaca ya.Sebagaimana Pohon Nira Bengkok, meski
akhirnya pun tidak terduga namun saya sangat puas dengan ending yang
dihadirkan penulis di dalamnya.
Aku ingin menjadi tangan yang mengusap genangan di
sudut matamu, atau menjadi telinga yang sabar mendengar isak tertahan yang
hanya aku saja yang tahu.
jeyjingga.com
Pohon Nira Bengkok di Belakang Rumahmu
Penulis: Hiday Nur (@hiday_nur_r)
Penerbit Caraka Publishing, Tuban, 110 halaman, Cetakan Pertama November 2020
1 Komentar
Terima kasih atas resensinya. kak Jihan top
BalasHapus