Oleh
Sabrina Lasama
Kata siapa pemerintah
senang membodohi rakyatnya? Zaman sekarang, pemerintah justru sekuat tenaga membuat
rakyatnya pusing pintar. Dua tahun yang lalu saya tidak pernah menyangka
bakal hafal di luar kepala ukuran virus berikut jenis-jenis masker yang dapat menangkalnya.
Saya, yang waktu SMA paling tidak suka kegiatan belajar di laboratorium kimia, bahkan
bereksperimen di dapur untuk membuat disinfektan sendiri.
Belum selesai soal Corona,
gejala dan cara pencegahan yang artikelnya belakangan ini lebih sering dibaca dibanding
kitab suci, kembali saya dipaksa menjadi pintar oleh proses belajar mengajar online. Kali ini saya menyesal tidak mengambil
jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar saat kuliah dahulu. Saya tidak berhenti ngomel-ngomel kalau sedang mendampingi anak
untuk school from home. Untungnya, konsultasi
dengan psikolog ditanggung BPJS karena saya mulai merasa ada yang salah dengan kondisi
psikologi diri sendiri.
Belum sempat berkonsultasi
dengan psikolog, saya melihat di televisi beberapa waktu lalu banyak buruh berunjuk
rasa menolak Omnibus Law. Astaghfirullah! Barang apalagi ini ya Allah? Tolong kembalikan
privilege saya sebagai ibu rumah tangga
di mana masalah terbesar yang biasa dihadapi adalah menyesuaikan menu makanan
agar tetap empat sehat lima sempurna walaupun harga sembako kian melambung.
Saya rindu masa-masa hanya mengkhawatirkan perkara balita yang belum lulus toilet training padahal sudah umur tiga tahun.
Kembalikan itu! Kembalikan itu!
Saya menonton klarifikasi
Bapak Presiden terhadap aksi penolakan kawan-kawan buruh selepas kunjungan beliau
melihat peternakan itik di pulau seberang. Tetapi, sebagian besar isinya tidak menjawab
rasa ingin tahu saya. Kok bisa teman-teman buruh dan adik-adik mahasiswa protes
kalau kata Bapak Omnibus Law ini demi mempercepat transformasi ekonomi? Kok bisa
pendapat petinggi negara yang harusnya memihak kepentingan rakyat malah diprotes
oleh rakyat?
Untuk memuaskan rasa
ingin tahu, saya mengunduh dokumen Undang-undang Tenaga Kerja Nomor 13 dan Undang-undang
Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang jumlahnya 905 halaman PDF itu. Tidak apa-apalah
kuota internet habis, yang penting hasrat kepo
saya terpuaskan. Dengan berbekal kopi sasetan, saya memutuskan untuk begadang
membandingkan kedua dokumen itu secara head
to head. Jangan khawatir, saya sudah terbiasa begadang nonton maraton drama Korea enam belas episode sampai subuh.
Saat menonton suatu berita,
ada yang bertanya pada pendemo, “Untuk apa kamu demo?” dijawablah oleh kawan buruh
itu, “Saya takut pesangon tidak dibayarkan.” Hal ini membuat orang-orang yang
pro Omnibus Law lantas melabeli kawan-kawan buruh ini termakan hoaks dengan embel-embel
cibiran semacam, “Makanya baca dong! Pahami sebelum demo!”
Mon
maap, kalau disuruh
baca dan memahami 905 halaman undang-undang, maka mungkin kawan yang duduk dalam
ruangan ber-ac sejajar dengan anggota dewan? Gimanasih? Hal tersebutlah yang membuat saya kemudian mencoba membandingkan
besaran pesangon antara Undang-undang Tenaga Kerja Nomor 13 dan Undang-undang Cilaka.
Cilaka dua belas!
Setelah membandingkan kedua dokumen itu saya sepakat dengan artikel-artikel di
portal berita online yang menyebutkan
bahwa Omnibus Law memihak pengusaha dan investor namun merugikan pekerja.
Banyak poin yang kontraversi tapi saya coba bahas satu poin saja, yaitu perkara
pesangon. Kalau bahas semua, saya khawatir rumah ini akan didatangi pendemo karena
mereka pikir kantor DPR sudah pindah.
Omnibus Law
menguntungkan kedua belah pihak? Nggak usah
ngadi-ngadi deh! Pesangon memang tetap
ada, tapi akui sajalah bahwa jumlahnya jauh berkurang. Saya sudah buat simulasi
supaya duduk perkaranya jelas dan tidak perlu mengawang-awang. Jangan ragukan kemampuan
berhitung saya. Saya telah terbiasa menghitung arus kas keluar masuk gaji suami
hingga tiga angka di belakang koma.
Simulasi Pesangon yang diperoleh jika
Terjadi PHK untuk Masa Kerja 10 tahun
Asumsi gaji+tunjangan tetap Rp. 4.000.000,-
Saya
mencoba paham bahwa Omnibus Law memiliki ultimate
goal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sudah hampir sepuluh
tahun belakangan ini susah naik ke angka 6%. Tapi jangan meminta saya memahami lebih
jauh karena kekhawatira dengan kemungkinan suami di-PHK dan hanya diberi pesangon
yang jumlahnya dikurangi jauh banget seperti
itupun muncul.
Mungkin memang benar adanya
bahwa tujuan jangka panjang Omnibus Law ini baik ditinjau dari aspek ekonomi dan
blablabla, tetapi bukankah mengesahkannya ditengah pandemi seperti ini menunjukkan telah hilangnya rasa empati
pada rakyat kecil? Sialnya setelah serangkaian protes nasional, yang ramai adalah
pengusutan siswa yang terlibat dalam demo serta efek kerugian pascademo. Tetap saja
Omnibus Law tidak mendapat perhatian lebih, yang kini semakin tenggelam ditelan
hiruk pikuk hiburan tanah air, persiapan pemilihan kepala daerah, hingga gempita
suksesi negara adidaya. Ini namanya sih
sudah jatuh ketimpa tangga, masuk ke lubang,
habis itu lubangnya dicor pakai semen. Saya sungguh mulai meragukan nilai PMP Bapak
dan Ibu anggota dewan yang terhormat.
Sabrina
Lasama. Ibu rumah
tangga, berdomisili di Manado.
0 Komentar