Benang Kusut Klaster Ketenagakerjaan Omnibus Law: Kembali ke 150 tahun lalu, Hoaks, dan Pertarungan David-Goliath

 


Oleh Heru Sang Amurwabumi

 

Aksi unjuk rasa menolak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) berlangsung di berbagai kota di tanah air. Klaster ketenagakerjaan menjadi topik yang paling banyak disorot. Di beberapa kota, aksi itu justru berakhir dengan kerusuhan dan bentrokan antara aparat keamanan dengan demonstran. Gejolak penolakan oleh buruh dan mahasiswa itu akhirnya disikapi pemerintah melalui pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo.

 

Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo menyampaikan urgensi pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Tidak bisa ditunda-tunda lagi, undang-undang yang akan meringkas puluhan undang-undang lama menjadi satu payung hukum baru itu dianggap justru akan lebih melindungi hak-hak buruh. Omnibus Law juga akan berdampak pada semakin terbukanya peluang investasi, sehingga lapangan pekerjaan baru akan tercipta.

 

Adapun gejolak unjuk rasa yang terjadi belakangan ini, menurut presiden disebabkan oleh adanya pihak-pihak yang menunggangi dan mendanai aksi buruh mahasiswa, serta banyaknya hoaks yang beredar di media sosial tentang Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law).

 

Jika digarisbawahi, gagasan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang disampaikan orang nomor satu di Indonesia itu seperti mengulang kebijakan sama yang pernah terjadi di negeri ini seratus lima puluh tahun yang lalu. Ya, pemerintah kolonial Hindia Belanda pada kurun waktu tahun 1870 – 1901 memang begitu percaya diri mengusung semangat liberalisasi ekonomi: memudahkan investasi dan mengundang perusahaan asing dapat menghasilkan terbukanya lapangan pekerjaan yang akhirnya akan mengangkat derajat hidup.

 

Pada pelaksanaannya, gagasan yang bersandar pada teori ‘menetes ke bawah’ (trickle down-economics) itu, tanpa disertai perlindungan hak-hak pekerja justru terjerembab pada praktik ordonansi kuli dan penindasan pekerja (Kompasiana - Cristopher Reinhart).

 

Ironis, gagasan yang akhirnya ditinggalkan pemerintah kolonial Hindia Belanda itu justru kini terkesan dipungut kembali dalam semangat percepatan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law).

 

Pascapidato Presiden RI Joko Widodo itu, seluruh serikat pekerja/buruh yang ada di Jawa Timur, terdiri dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI), Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (SP RTMM), Serikat Pekerja Indonesia (SPI), Serikat Pekerja Nasional (SPN), Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi), Serikat Pekerja Perkayuan dan Perhutanan Indonesia (SP Kahutindo), Serikat Pekerja Logam, Elektronik dan Mesin (SP LEM), Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (SP KEP), dan Serikat Pekerja Percetakan, Penerbitan, dan Media Informasi (SP PPMI) langsung melakukan pernyataan sikap di Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia. Ada beberapa poin yang disampaikan langsung kepada Prof. Mahfudz M.D. tanggal 14 Oktober 2020 di Jakarta, di antaranya:

 

·         Aksi demonstrasi dan mogok nasional yang dilakukan pada tanggal 6, 7, dan 8 Oktober 2020 adalah gerakan murni serikat pekerja/buruh yang ada di Jawa Timur. Tidak ada tendensi politik. Aksi-aksi semacam ini juga selalu dilakukan pada pemerintahan-pemerintahan periode sebelumnya. Ketika terjadi revisi pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Rancangan Undang-Undang BPJS misalnya, aksi serupa juga pernah dilakukan.

 

·         Prose perancangan, pembahasan, sampai pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) di tengah badai pandemi COVID-19 ini terkesan terburu-buru dan tidak mengakomodir aspirasi buruh secara maksimal. Maka, sepatutnya perlu dipertanyakan tingkat urgensinya.

 

·         Terdapat beberapa pasal/ketentuan pada Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang menganulir pasal-pasal pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sehingga kesejahteraan dan hak-bak buruh terancam. Hal ini akan berpotensi merusak keharmonisan hubungan industrial antara buruh dan pengusaha di masa mendatang.

 

Budaya Membaca Sebelum Beraksi

Tujuh bulan silam, tepatnya Februari 2020, penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) sudah diteriakkan berbagai serikat pekerja/buruh. Di Jawa Timur sendiri, aksi besar-besaran sudah sempat direncanakan, namun akhirnya batal dilakukan setelah izin yang semula sudah dikeluarkan oleh Kepolisan Daerah Jawa Timur, ditarik kembali akibat merebaknya pandemi COVID-19.

 

Selama tujuh bulan pula, pemerintah dan DPR RI sepakat menunda pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Untuk sementara, kebijakan itu bisa meredakan gejolak penolakan.

 

Tetapi pascapengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), aksi unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan buruh dan mahasiswa kembali terjadi. Ada anggapan bahwa aksi itu terjadi karena lemahnya budaya baca masyarakat. Alih-alih mengkaji isi draft undang-undang yang mereka tolak, yang ada justru mereka mudah terhasut dengan kabar miring tentang pengesahannya. Dengan kata lain, unjuk rasa yang terjadi selama ini adalah ledakan dari bom kebodohan buruh sebagai representasi orang-orang yang mudah termakan hoaks.

 

Terlalu gegabah jika kita menyebutkan bahwa serikat-serikat pekerja/buruh yang nyaris melakukan aksi mogok nasional pada bulan Februari silam tidak pernah membaca draft Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Beberapa jam setelah pengesahan undang-undang kontroversi itu, Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, Ida Fauziyah dalam surat terbuka tanggal 5 Oktobber 2020 berjudul Hati Saya Bersama Mereka yang Bekerja dan yang Masih Menganggur mengatakan bahwa pemerintah sudah mengajak dialog perwakilan buruh melalui serikat-serikat pekerja/buruh untuk membahas pasal-pasal yang selama ini dianggap akan mengebiri hak-hak buruh. Artinya, tidak tepat jika ada pernyataan yang menyudutkan buruh bahwa mereka tidak pernah membaca draft setebal ribuan halaman itu.

 

Menyoal Anggapan Hoaks pada Beberapa Ketentuan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law)

Dalam pernyataan sikap di Kemenpolhukam RI tanggal 14 Oktober 2020, pimpinan-pimpinan serikat pekerja/buruh juga menyampaikan hasil kajian terhadap beberapa kekontroversian (pasal karet—pasal yang dianggap multi tafsir sehingga berpotensi menimbulkan tarik ulur perdebatan dan sengketa) pada Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) baik versi 1035 maupun 812 halaman, yang oleh pemerintah justru dianggap sebagai salah satu hoaks.

 

Benarkah bahwa pengebirian hak-hak buruh di masa mendatang adalah hoaks?

 

·         Pesangon

Pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diatur nilai pesangon, yaitu apabila seorang pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan, cacat dan atau kecelekaan kerja sehingga tidak bisa lagi bekerja, boleh di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), yang bersangkutan mendapatkan pesangon sebanyak 43,7 kali upah. Ketentuan ini tercantum pada pasal 156 dan pasal 172.

 

Sementara Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) menyebutkan bahwa besaran pesangon tersebut  adalah 25 kali upah dengan rincian 19 kali upah dibayar perusahaan yang diatur pada pasal 156. Sisanya sebanyak 6 kali upah dibayar oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam bentuk Jaminan Sosial Kehilangan Pekerjaan seperti ketentuan bada bagian Ketujuh pasal 46 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

 

·         Upah Minimum Provinsi, Upah Minimum Kabupaten/Kota, dan Upah Minimum Sektor Kabupaten/Kota

Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) hanya mengatur bahwa gubernur berkewajiban menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP). Undang-undang ini tidak mewajibkan gubernur untuk menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), Upah Minimum Sektor Kabupaten/Kota (UMSK).

 

Sebelumnya, ketentuan UMP, UMK, dan UMSK diatur pada pasal 88 dan pasal 89 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 

Sebagai contoh, di Jawa Timur, UMP tahun 2020 adalah Rp. 1.768.777,08, sementara UMK Surabaya adalah Rp. 4.200.479,19, sedangkan UMSK Sidoarjo sebesar Rp. 4.571.004,22.

 

Tidak diaturnya kewajiban inilah yang akan berpotensi terhadap hilangnya UMSK.

 

·         Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur pada pasal 59, bahwa batas waktu pengusaha untuk menerapkan sistem PKWT maksimal 3 tahun.

 

Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) pasal 59 ayat (4) tidak mengatur tentang hal ini. Dengan kata lain, ketentuan PKWT ini berpotensi hilang/dihilangkan, sehingga pekerja bisa dikontrak seumur hidup tanpa ada kejelasan perubahan status menjadi pekerja tetap.

 

·         Outsourcing

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan  pasal 64 – pasal 66, dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 19 tahun 2012 mengatur bahwa hanya ada lima jenis pekerjaan yang bisa diterapkan dengan sistem Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (outsourcing). Akan tetapi, pasal 66 Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) justru tidak mengatur dan menyinggung sama sekali tentang persyaratan ini.

 

Lagi-lagi, ketentuan yang sudah diperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27 tahun 2011 ini berpotensi hilang/dihilangkan.

 

 

Langkah Moderat di Mahkamah Konstitusi

Palu sudah diiketukkan dalam Sidang Paripurna DPR RI tanggal 5 Oktober 2020 yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI, Aziz Syamsudin. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, berbagai sikap pro dan kontra selama ini, toh tidak bisa lagi menggagalkan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Adu argumentasi oleh pemerintah, anggota dewan, buruh, dan mahasiswa tidak pernah mengerucut pada satu kesamaan pandangan. Aksi unjuk rasa juga tak jarang justru berakhir dengan bentrokan sesama rakyat (baca: aparat dan demonstran). Maka, sudah sepatutnya adu urat syaraf dan okol di jalanan yang terjadi selama ini kita akhiri.

 

Melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) disinyalir sebagai cara paling bijak sebagai warga yang hidup di negara yang menjunjung tinggi hukum dan konstitusi. Biarkan lembaga tinggi negara itu yang akan meletakkan nilai-nilai keadilan.

 

Meskipun sadar bahwa medan pertarungan terakhir yang akan ditempuh buruh ibarat pertarungan antara David dan Goliath, melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi adalah langkah moderat bagi buruh.

 

Apa pun nanti hasil uji materi, baik dikabulkan atau tidaknya gugatan buruh ke Mahkamah Konstitusi, semua pihak yang bertikai, buruh, mahasiswa, pemerintah, dan parlemen harus legowo. Berlapang dada menerima ketuka palu hakim konstitusi.

 

Apa pun pula nanti putusan Mahkamah Konstitusi, sejarah bangsa Indonesia tetap akan mencatat bahwa periode pemerintahan dan parlemen saat ini telah melahirkan produk hukum yang serupa gumpalan benang kusut. Tak pernah bisa diurai kontroversinya. []

 


Heru Sang Amurwabumi,

Buruh dan Aktivis Serikat Pekerja RTMM – SPSI, penulis emerging Indonesia di Ubud Writers & Readers Festival 2019.

 

 


Posting Komentar

0 Komentar