Oleh Briantono Raharjo




Akhir November silam, saya ditugaskan ke Bogor demi memenuhi undangan rapat koordinasi. Kala itu saya memegang peranan penting: penyaji data presentasi unit. Setiap kali diminta ke kantor, perasaan saya berkecamuk antara bangga dan cemas. Bangga karena dipercaya untuk suatu tugas besar, sekaligus cemas atas kondisi penyebaran virus yang tak kunjung melunak.

Sialnya, beberapa kondisi persiapan rapat akhir tahun itu memaksa saya untuk bolak-balik ke auditorium bersama beberapa orang teman sekantor. Soal mengapa saya mencemaskan lalu lalang ke auditorium minim ventilasi ini, mungkin bisa disimak  penjelasan  dari  @kawalcovid19  tentang  konsep  distribusi  virus via mikrodroplet dan sirkulasi ruangan. Perkara ventilasi itu sendiri pun belum cukup untuk membuat risau bertambah. Pasalnya, salah satu operator ruangan beberapa kali berada dalam jarak kurang satu meter dari saya dalam keadaan membuka masker. Kita sama-sama paham kan bahwa si kecil itu bebas berselancar hidung ke hidung tanpa menunggu gejala batuk atau bersin.

Sepulang dari auditorium Bogor itu, kira-kira maghrib, saya kontan mengisolasi diri secara mandiri. Nyatanya ini bukan hal mudah, karena anak saya sendiri sudah kadung nyaman dengan beberapa ‘layanan rumah’ yang dilakukan saya secara langsung. Di titik itu, sebenarnya hati saya kadung kalut hingga emosi, lalu menjauhkan diri dari anak dan istri dengan sedikit ‘drama’.


“Ini lebih baik daripada mereka nanti ikut diterkam virus” begitu gumam saya dalam hati dengan gamang.


Menghitung-hitung kegiatan harian seorang manusia, rasa-rasanya memang sesuatu yang sulit ketika memutuskan mengunci mulut seharian. Pun tidak sedikit orang yang merasa dirinya sulit mengunyah jika tidak ada teman makan. Makan sambil berkumpul, berbicara tanpa sekat, lalu bercanda sembari menghapus jarak rasanya sudah seperti insting yang menyatu dalam darah. Kalau dipikir-pikir, boleh jadi inilah alasan mengapa sebagian besar kita kontan tumbuh rasa sungkan ketika harus menggelar jarak dan memasang sekat.

Boleh jadi, entah berapa banyak konsep biologi dan kimia yang kita pahami tentang siluman kecil bermahkota ini, celah pun akhirnya kita buka lebar-lebar atas nama simpul relasi dan kejelasan komunikasi, berikut tuntutan mata pencaharian yang kadang membuat ketar-ketir. Bahwa perkara sehat itu tak cukup soal komposisi gizi, protokol jarak aman, dan kelihaian memainkan jurus-jurus sterilisasi dan higienitas. Kebutuhan jiwa selaku zoon politicon agaknya perlu banyak substansi pengganti ketika jarak menjadi perkara.

Kabar buruk pun pecah belasan hari kemudian, dan kala batuk-batuk kecil bergaung dari mulut selama seminggu lebih, mulailah berbagai macam ketakutan merajalela. Saya ingat, ada momentum pula dimana secara sengaja membuka mulut di hadapan orang yang ternyata telah terpapar tapi belum tampak gejala. Di sisi lain, rasa penasaran saya pun pupus, “oh jadi begini rasanya menjadi PDP?”. Sebotol obat batuk cengkeh didapuk jadi penawar, tapi batuk kecil ini terus mengajak berontak. Sempat air mata saya jatuh: “mengapa ketika mau senang-senang, kita hanya ingat soal kedekatan dan relasi antar teman, tapi lupa apa yang terjadi dengan dunia saat ini?”

Usap hidung dan mulut pun jadi kunci satu-satunya. Alhamdulillah, saya belum jadi pengidap atas izin-Nya. Tetapi sebagian hati masih ketar-ketir membaca linimasa twitter, tentang orang yang sudah lulus uji usap tapi anak dan istrinya tetap tertular dikala dirinya kembali bergejala.

Di titik itu, saya mulai berpikir menjurus teori konspirasi: “apa jangan-jangan siluman bermahkota itu hasil perkawinan antara dua jenis virus yang telah hidup di dunia ini sekian abad lalu”. Membayangkan ini, kadang saya iri dengan kehidupan para virus saat ini. Mulut mereka masih terbuka bebas menampakkan taring-taringnya, dikala ulah mereka membuat kita harus menahan diri dari insting sosiologis kita.

Mungkin memang memilih terpisah secara jarak dan jiwa akan berujung pada suatu persamaan rasa yang dicemaskan: bahwa manusia ada masanya akan abai pada sekelilingnya, lebih-lebih bila sekujur organ sedang dirudapaksa makhluk-makhluk kecil yang tak pernah kenyang.

Maka, apakah mungkin perkara sehat itu terlalu naif bila semuanya hanya soal jaga diri masing-masing seketat mungkin? Kita mungkin sudah-sudah sama tahu, dinosaurus, pendahulu penduduk bumi ini, yang masih terus mampu memenuhi insting sosiologisnya akhirnya diputuskanlah berakhir oleh takdir sebagai fosil karena planet hijau kebiruan ini berisi 3 vonis menakutkan: perjangkitan penyakit, amarah gunung dan tektonik, hingga membeku dan meluapnya lautan.

Sungguh, apakah sepenting itu insting sosiologis kita harus selalu dipenuhi, ketimbang insting yang lainnya?

(Jakarta, 22 Desember 2020)

    


Briantono Muhammad Raharjo. Seorang laki-laki penyuka martabak, soto, dan jus alpukat yang merupakan ayah dari seorang anak bernama Argenta.  Saat ini pria yang biasa disapa Brian ini menjabat sebagai analis kepuasan pelanggan di divisi wholesale Telkom Indonesia. Brian yang pernah meraih juara 2 festival band tingkat perusahaan ini telah menelurkan karya solo berupa kumpulan cerpen bertajuk "Kelelahan yang Kita Rindukan". Sehari-harinya, Brian senang membaca buku-buku berbau jurnalistik, berlari, bermain sepeda, dan memainkan musik modern rock dalam instrumen beduk Inggris.