Nina Saingo




Pada zaman dahulu, hiduplah seorang pemuda yang sangat sakti bernama Usman Barkat. Ia hidup berdua saja bersama ayahnya yang bernama Muhammad Aludin Syah. Ayahnya seorang yang bijaksana dan sangat disegani oleh masyarakat setempat. Jika ada masalah yang dihadapi warga, mereka akan pergi menemui ayah Usman Barkat untuk meminta pendapat dalam menghadapi persoalan mereka. Ayah Usman Barkat juga seorang yang sangat sakti. Dengan kesaktiannya dia selalu menolong orang-orang yang menderita dan yang tertimpa kemalangan. Meskipun dia memiliki kesaktian, dia tetap saja rendah hati karena perilaku demikian, semua orang sangat mengasihi Muhhamad Aludin Syah dan anaknya Usman Barkat. Suatu hari, ayah Usman Barkat memanggil anaknya untuk diberikan petuah dan ilmu karena usianya yang sudah semakin lanjut.

"Usman, ke sini sebentar,Nak," kata ayahnya dari atas bale-bale[1].

Usman berjalan mendekati ayahnya yang sudah tua dan duduk bersila di bawah bale-bale. Sambil menatap lekat-lekat ayahnya berkata lagi,

 "Usman Anakku, waktuku tinggal sesaat lagi, taruhlah tanganmu di atas tanganku dan terimalah segala kesaktian yang kumiliki. Pergunakanlah itu untuk menolong sesama, jangan sombong dan serakah sebab itu akan membuat kesaktian ini tak akan lagi berguna," kata ayahnya terbata-bata.

Usman melakukan apa yang diperintahkan ayahnya dengan sedih. Tiba-tiba Usman merasakan tubuhnya gemetar dengan hebat, asap putih menutupi ruangan itu dan ia merasakan tubuhnya sangat panas sekali. Rupanya kesaktian dari ayahnya sudah berpindah kepadanya. Sekejap saja ruangan itu menjadi sepi dan sangat tenang sekali.

Secepat kilat Usman melihat ke atas bale-bale. Ayahnya sudah menutup mata. Usman menangis memeluk ayahnya. Usman sangat kehilangan ayahnya. Bagi Usman, ayahnya tidak saja sekedar seorang ayah, melainkan sahabat terbaik yang pernah ia miliki. Banyak hal yang sudah ayahnya ajarkan padanya, banyak kenangan manis bersama ayahnya.

Semua kenangan manis bersama ayahnya berputar-putar kembali dalam ingatan Usman, semuanya tidak pernah tergantikan dengan cara apapun lagi.  Namun, Usman menyadari bahwa ia harus segera bangkit dari rasa kehilangannya. Dia harus berjuang agar bisa menjadi anak yang membanggakan almarhum ayahnya. Sepeninggal ayahnya, Muhammad Aludin Syah, Usman tinggal seorang diri di sebuah desa bernama Ombay.

Usman Barkat sama seperti mendiang ayahnya. Ia sangat disukai oleh masyarakat setempat oleh karena kebaikan hatinya yang selalu menolong orang-orang. Suatu hari, Usman Barkat buang air besar di pinggir pantai. Ketika itu ada dua orang yang berasal dari Pulau Jawa yang naik perahu bernama Husein dan Hasan menuju ke Desa Ombay. Mereka berdua melihat Usman Barkat tidak melakukan istinjak (bersih-bersih) setelah buang air besar. Mereka memandang perlakuan Usman Barkat itu tidak sesuai dengan ajaran agama Islam yang mereka anut.

 "Mari kita hampiri orang itu dan kita sampaikan kekeliruannya," kata Husein marah.

Mereka berdua mendekati Usman Barkat dan berkata, "Hei, orang muda, sadarkah kamu dengan yang barusan kamu lakukan?"

Tentu saja Usman tidak menyadarinya sebab yang ia lakukan sudah menjadi kebiasaan di desa mereka. Akan tetapi, Husein dan Hasan semakin marah karena melihat Usman hanya diam saja. Dalam kemarahan kedua orang Jawa itu menantang Usman Barkat untuk menunjukkan kehebatannya.

Akhirnya, mereka bertiga membuat sebuah perjanjian, yakni:jika Usman menang, maka kedua orang Jawa itu harus tinggal di Desa Ombay dan membangun desa itu dengan segala hal baik yang mereka ketahui. Tetapi, jika Usman Barkat kalah maka ia harus pergi dan tinggal di Jawa.

Keesokan harinya seluruh masyarakat Desa Ombay berkumpul untuk melihat pertandingan antara Usman Barkat dengan dua orang yang yang berasal dari Pulau Jawa itu. Usman Barkat pun  telah bersiap untuk bertanding melawan kedua orang Jawa tersebut. Tidak lupa Usman Barkat memohon restu mendiang ayahnya dan para leluhur untuk menolong dia.

Pertandinganpun dimulai. Usman Barkat menunjukkan kehebatannya sambil membaca kalimat syahadat. Ia mengeluarkan isi perutnya dan mencucinya di pantai. Sedangkan orang Jawa mengikat lima buah parang yang jika dicelupkan ke dalam air akan terapung. Namun, parang-parang tersebut tidak terapung melainkan tenggelam.

Orang Jawa pun kalah dan sesuai perjanjian yang dibuat. Mereka menetap dan membangun di Desa Ombay. Desa Ombay ini berada di Pulau Pantar, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. [end]









[1] Tempat tidur yang terbuat dari pelepah bambu atau kelapa. Bale-bale ini masih digunakan hingga sekarang di Alor-NTT.