Mashdar Zainal

 


Bocah-bocah itu mengintai dari balik pagar, melihat Zahra berkomat-kamit, seperti berbicara dengan seseorang.

“Sinting. Anak perempuan itu sepertinya memang sinting,” bisik mereka.

“Betul. Lihat itu! Ia berbicara dengan kelopak bunga,” sahut yang lain.

Zahra baru sepuluh tahun, dan orang-orang, terutama anak sebayanya, menganggapnya aneh. Caranya berbicara aneh. Caranya berpakaian juga aneh.

Sebagaimana aturan keluarga, saat keluar rumah, Zahra harus mengenakan kaus kaki dan gamis polos serta hijab lebar yang menutupi nyaris seluruh tubuhnya kecuali bagian muka dan telapak tangan. Zahra tak paham mengapa orang-orang menganggap itu aneh. Ia hanya mencoba menjadi anak berbakti dengan menuruti semua kata-kata ibunya. Toh, dengan pakaian lebar itu Zahra juga masih bisa bermain dengan leluasa. Bahkan ia masih bisa bermain lompat tali. Pakaian itu sama sekali tak menganggunya. Itu hanya pakaian.

Zahra benar-benar tak mengerti mengapa para tetangga barunya, menganggap keluarganya sebagai keluarga aneh hanya karena cara berpakaian. Bahkan beberapa bocah menganggap Zahra sinting hanya karena ia suka bercakap dengan bunga-bunga. Bocah-bocah tetangga itu tak mengerti, mereka tak mau berteman dengan Zahra, sehingga mereka tak pernah bertanya mengapa Zahra suka bercakap dengan bunga-bunga. Padahal, Zahra memiliki sebuah alasan.

Zahra berdiri di pekarangan dan menatap bunga-bunga.

Aku bercakap dengan bunga-bunga karena aku sedikit sulit bercakap dengan orang-orang. Sebab aku tak bisa mendengar dengan baik apa yang dikatakan orang-orang. Dan orang-orang, tak bisa menangkap dengan baik apa-apa yang kukatakan. Begitu kata ibu. Dua hal itu saling berhubungan. Dan hanya bunga-bunga, teman yang bisa memahami itu.

Zahra selalu betah berdiri di antara bunga-bunga.

Aku kesulitan mendengar sesuatu, maka aku kesulitan mengatakan sesuatu. Sebab itulah, orang-orang tak suka bercakap denganku, hingga lama kelamaan aku jadi tak suka bercakap-cakap dengan mereka—kecuali ayah-ibuku sendiri. Terutama ibu. Ibu berbeda. Ibu selalu paham apa yang aku maksudkan, bahkan sebelum kata-kata itu terlontar dari mulutku yang lebih banyak diam. Sebab itu, kalau ibu tak ada di sisiku—dan ibu memang tak mungkin berada di sisiku sepanjang waktu, aku selalu bercakap-cakap dengan bunga-bunga.

Ibu telah menghabiskan cukup banyak uang untuk sebuah benda kecil yang diselipkan di lubang telinga Zahra. Kata ibu, itu alat bantu dengar. Dengan benda itu, Zahra akan bisa mendengar sedikit lebih baik apa yang diucapkan orang-orang. Sehingga Zahra mulai bisa belajar mengatakan sesuatu dan bercakap-cakap dengan orang-orang, seperti yang lain.

 Namun sungguh, Zahra tak menganggap begitu.

Alat ini tak banyak membantu. Meski, aku bisa mendengar lebih baik, orang-orang masih saja menganggapku aneh dan berbeda.

Saat umur Zahra tujuh tahun—sekarang umur Zahra sepuluh tahun—ayah dan ibu membeli rumah baru di sebuah komplek perumahan di pinggiran kota. Rumah baru mereka memiliki halaman yang cukup luas, banyak pohon dan bunga yang ditanam di sana. Keluarga yang tinggal di rumah itu sebelum mereka sangat menyukai bunga. Seperti ibu. Ibu juga sangat menyukai bunga. Kata ibu, rumah tanpa bunga itu seperti bukan rumah. Seperti sebuah planet yang tak pantas ditinggali. Bahkan di gurun yang kerontang sekali pun, ada bunga, bernama kaktus. Dan bunga-bunga di halaman rumah itu, Zahra mengenal mereka dengan baik. Setiap pagi dan sore Zahra memandikan mereka.

Di sudut halaman bagian depan sebelah kiri ada segerombol asoka. Kupu-kupu bersayap belang selalu mendatangi bunga itu kapan saja. Di bagian atas, alamanda merambat menggapai dahan-dahan pohon mangga, tak terhentikan. Ibu memangkas bunga kuning bergetah itu setahun dua kali. Pada awal atau akhir tahun, dan pertengahan tahun. Di muka teras ada semak melati tumpuk, berwarna putih dan menebarkan bau wangi setiap petang. Kadangkala, bunga-bunga itu mirip seperti bintang kecil yang jatuh di tengah semak pada malam hari. Mawar berduri berwarna merah pekat menjulang di sudut halaman depan bagian kanan. Di sisi pagar bunga-bunga berbulu tipis tumbuh subur, ada bunga kertas, bunga matahari, serta sedompol seruni. Bunga-bunga matahari itu seperti seorang ibu yang bercerita, dan bunga kertas serta seruni adalah anak-anak yang mengitari mereka. Bunga-bunga itu nyaris serupa, tapi tak sama.

Sementara di teras, di dalam pot, ada empat kamboja berwarna merah muda, merah tua, kuning gading, dan putih. Jemani dan gelombang cinta mekar di sudut-sudut teras dalam pot raksasa. Dan dua bougenvil kerdil memaku di bawah dua tiang teras. Di atasnya, nusa indah merumpun seperti mahkota tiara, sementara batangnya melengkung membentuk sebuah gerbang hijau menuju teras. Zahra selalu menganggap dua bunga itu bersaudara, bougenvil dan nusa indah, karena bentuk mereka hampir sama.

Zahra memaku di antara bunga-bunga. Beberapa luka di tubuhnya mulai mengering.  Sungguh menyenangkan menjadi kalian, tak pernah saling mengganggu atau pun bertengkar apalagi menyakiti satu sama lain. Sungguh berbeda dengan anak-anak di sini.

Seminggu yang lalu, anak-anak tetangga melempariku dengan batu hanya karena aku ingin bermain bersama mereka. Mereka menyebutku bocah gagu, tuli, bisu, ninja, anak teroris, sinting, dan banyak lagi. Aku pulang sambil menangis, dengan muka penuh lebam. Biasanya, saat anak tetangga menjahiliku, ibu hanya menyuruhku bersabar dan mendoakan mereka, tapi hari itu ibu pergi ke rumah Pak RT, sambil menangis. Sementara ayah menekan gerahamnya kuat-kuat untuk menahan marah. Pak RT pun menemui para tetangga. Dan ibu-ibu dari anak yang melempariku dengan batu tidak terima. Mereka bilang, aku yang salah, karena aku yang pertama melempari mereka dengan batu. Padahal aku tidak melakukannya. Kata ibu, Tuhan maha tahu, kalau sudah tiba waktunya, Tuhan akan menghukum orang yang bersalah.

Sejak hari itu, ibu semakin tidak disukai banyak orang. Namun ibu mengalah dan memilih jalan damai dengan meminta maaf. Beberapa hari kemudian, ibu memasak besar, membuat aneka jajan, dan meracik nasi serta lauk dalam kotak. Lantas mengantarkannya ke para tetangga. Dari Sembilan belas rumah, ada tujuh rumah yang tak mau membukakan pintu. Ibu tahu betul mereka ada di rumah. Mereka hanya tak mau berurusan dengan keluarga kami. Karena, menurut mereka, keluarga kami keluarga aneh. Hari itu ibu menangis lagi. Melihat ibu menangis, aku ikut menangis. Aku meminta maaf pada ibu, semua karena ulahku. Kalau aku tidak keluyuran ke pekarangan rumah tetangga untuk ikut bermain dengan anak-anak tetangga, barangkali semua itu takkan terjadi.

Kata ibu, semua itu sama sekali bukan salahku. Orang-orang hanya tak suka dengan keluarga kami yang berbeda. Saat ibu pergi untuk membeli cabai, ibu harus mengenakan kaus kaki dan cadar. Orang-orang tidak menyukai itu. Saat ibu pergi ke arisan dan menghadiri undangan warga, lagi-lagi ibu harus mengenakan kaus kaki dan cadar. Orang-orang merasa risih dengan itu. Keluarga kami tak pernah sembahyang di masjid tempat tetangga-tetangga kami bersembahyang. Dan mereka tidak mau menerima itu. Orang-orang menganggap keluarga kami berbeda. Dan berbeda berarti mengancam. Dan yang mengancam berarti harus dimusuhi.

Mendengar cerita ibu, aku menjadi sangat sedih. Tidak bisakah orang-orang itu menjadi seperti bunga-bunga di pekarangan rumah?

Bunga-bunga di halaman rumah berbeda warna, ada yang bergetah ada yang tak bergetah, ada yang berduri dan ada yang tak berduri, ada yang berbau wangi dan ada yang berbau aneh, ada yang berdaun lebar dan ada yang berdaun mungil. Sungguh, begitu banyak perbedaan pada bunga-bunga itu, tapi bunga-bunga itu tak pernah berselisih paham atau memusuhi satu sama lain. Mereka tak pernah mengolok ataupun membenci satu sama lain.

Petang itu, sambil memandikan bunga-bunga, aku bertanya pada mawar, apakah ia membenci melati karena berwarna putih? Dan kata mawar, sebab melatilah dirinya disebut mawar.

Lantas aku bertanya pada seruni, apakah ia merasa iri pada bunga matahari yang begitu indah dan megah? Kata seruni, tidak sama sekali, ia lebih suka menjadi seruni yang mungil, karena itu takdirnya.

Lantas, aku bertanya pada kamboja, jenis kalian sama, tapi warna kalian berbeda, apakah kalian akan baik-baik saja dengan itu? Dan kamboja-kamboja itu pun berujar, kami sangat baik-baik saja dengan warna kami. Perbedaan warna inilah yang membuat kami semakin berseri.

Aku sungguh heran, mengapa kalian tidak pernah ribut-ribut, tanyaku lagi. Karena kami semua sama-sama bunga, jenis hamba Tuhan yang sama, jawab mawar. Karena, aroma yang beraneka ini bukan kami yang menentukan, ujar melati. Karena bentuk yang tak serupa ini Tuhan yang memilihkan, ungkap bougenvil. Karena ukuran yang tak sama ini Tuhan yang memutuskan, balas seruni. Dan karena, umur kami sangat pendek, seru bunga matahari. Umur kami sangat pendek. Umur para bunga sangat pendek.

Zahra menatap bunga-bunga itu tiada kejap. Angin berhembus pelan. Dan kepala bunga kuning yang megah itu berayun ringan. Satu-dua kelopak tuanya tanggal. Zahra memungut kelopak-kelopak gugur itu. Meletakkannya di telapak tangan.

Bunga-bunga tak pernah memiliki umur panjang. Mereka menguncup, mekar, dan lalu mati dalam hitungan bulan, bahkan hari, digantikan kuncup-kuncup baru. Haruskah waktu yang singkat itu kami habiskan dengan bermusuhan? Bunga matahari melanjutkan.

Beberapa bocah tetangga mengintai dari balik pagar, melihat Zahra berkomat-kamit, berbisik dengan kelopak bunga matahari. Mereka pada berbisik. “Sinting. Bocah perempuan itu sepertinya memang sinting. Lihat itu! Lihat saja! Ia berbicara dengan kelopak bunga.” [end]

Malang, 2017


Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa. Tulisannya terpercik di beberapa media. Novel terbarunya, Kartamani, Riwayat Gelap dari Bonggol Pohon, 2020. Kini bermukim di Malang. Bagi yang ingin berbagi ilmu, kisah, dan seterusnya, boleh menyapa lewat Facebook atau IG: Mashdar Zainal