Bocah-bocah
itu mengintai dari balik pagar, melihat Zahra berkomat-kamit, seperti berbicara
dengan seseorang.
“Sinting.
Anak perempuan itu sepertinya memang sinting,” bisik mereka.
“Betul.
Lihat itu! Ia berbicara dengan kelopak bunga,” sahut yang lain.
Zahra baru sepuluh tahun, dan orang-orang,
terutama anak sebayanya, menganggapnya aneh. Caranya berbicara aneh. Caranya
berpakaian juga aneh.
Sebagaimana
aturan keluarga, saat keluar rumah, Zahra harus mengenakan kaus kaki dan gamis
polos serta hijab lebar yang menutupi nyaris seluruh tubuhnya kecuali bagian
muka dan telapak tangan. Zahra tak paham mengapa orang-orang menganggap itu
aneh. Ia hanya mencoba menjadi anak berbakti dengan menuruti semua kata-kata
ibunya. Toh, dengan pakaian lebar itu Zahra juga masih bisa bermain dengan
leluasa. Bahkan ia masih bisa bermain lompat tali. Pakaian itu sama sekali tak
menganggunya. Itu hanya pakaian.
Zahra
benar-benar tak mengerti mengapa para tetangga barunya, menganggap keluarganya
sebagai keluarga aneh hanya karena cara berpakaian. Bahkan beberapa bocah
menganggap Zahra sinting hanya karena ia suka bercakap dengan bunga-bunga.
Bocah-bocah tetangga itu tak mengerti, mereka tak mau berteman dengan Zahra,
sehingga mereka tak pernah bertanya mengapa Zahra suka bercakap dengan bunga-bunga.
Padahal, Zahra memiliki sebuah alasan.
Zahra
berdiri di pekarangan dan menatap bunga-bunga.
Aku bercakap dengan bunga-bunga
karena aku sedikit sulit bercakap dengan orang-orang. Sebab aku tak bisa
mendengar dengan baik apa yang dikatakan orang-orang. Dan orang-orang, tak bisa
menangkap dengan baik apa-apa yang kukatakan. Begitu kata ibu. Dua hal itu
saling berhubungan. Dan hanya bunga-bunga, teman yang bisa memahami itu.
Zahra
selalu betah berdiri di antara bunga-bunga.
Aku kesulitan mendengar sesuatu,
maka aku kesulitan mengatakan sesuatu. Sebab itulah, orang-orang tak suka
bercakap denganku, hingga lama kelamaan aku jadi tak suka bercakap-cakap dengan
mereka—kecuali ayah-ibuku sendiri. Terutama ibu. Ibu berbeda. Ibu selalu paham
apa yang aku maksudkan, bahkan sebelum kata-kata itu terlontar dari mulutku
yang lebih banyak diam. Sebab itu, kalau ibu tak ada di sisiku—dan ibu memang
tak mungkin berada di sisiku sepanjang waktu, aku selalu bercakap-cakap dengan bunga-bunga.
Ibu
telah menghabiskan cukup banyak uang untuk sebuah benda kecil yang diselipkan
di lubang telinga Zahra. Kata ibu, itu alat bantu dengar. Dengan benda itu,
Zahra akan bisa mendengar sedikit lebih baik apa yang diucapkan orang-orang.
Sehingga Zahra mulai bisa belajar mengatakan sesuatu dan bercakap-cakap dengan
orang-orang, seperti yang lain.
Namun sungguh, Zahra tak menganggap begitu.
Alat ini tak banyak membantu.
Meski, aku bisa mendengar lebih baik, orang-orang masih saja menganggapku aneh dan
berbeda.
Saat
umur Zahra tujuh tahun—sekarang umur Zahra sepuluh tahun—ayah dan ibu membeli
rumah baru di sebuah komplek perumahan di pinggiran kota. Rumah baru mereka
memiliki halaman yang cukup luas, banyak pohon dan bunga yang ditanam di sana.
Keluarga yang tinggal di rumah itu sebelum mereka sangat menyukai bunga.
Seperti ibu. Ibu juga sangat menyukai bunga. Kata ibu, rumah tanpa bunga itu
seperti bukan rumah. Seperti sebuah planet yang tak pantas ditinggali. Bahkan
di gurun yang kerontang sekali pun, ada bunga, bernama kaktus. Dan bunga-bunga
di halaman rumah itu, Zahra mengenal mereka dengan baik. Setiap pagi dan sore
Zahra memandikan mereka.
Di
sudut halaman bagian depan sebelah kiri ada segerombol asoka. Kupu-kupu
bersayap belang selalu mendatangi bunga itu kapan saja. Di bagian atas,
alamanda merambat menggapai dahan-dahan pohon mangga, tak terhentikan. Ibu
memangkas bunga kuning bergetah itu setahun dua kali. Pada awal atau akhir
tahun, dan pertengahan tahun. Di muka teras ada semak melati tumpuk, berwarna
putih dan menebarkan bau wangi setiap petang. Kadangkala, bunga-bunga itu mirip
seperti bintang kecil yang jatuh di tengah semak pada malam hari. Mawar berduri
berwarna merah pekat menjulang di sudut halaman depan bagian kanan. Di sisi
pagar bunga-bunga berbulu tipis tumbuh subur, ada bunga kertas, bunga matahari,
serta sedompol seruni. Bunga-bunga matahari itu seperti seorang ibu yang
bercerita, dan bunga kertas serta seruni adalah anak-anak yang mengitari
mereka. Bunga-bunga itu nyaris serupa, tapi tak sama.
Sementara
di teras, di dalam pot, ada empat kamboja berwarna merah muda, merah tua,
kuning gading, dan putih. Jemani dan gelombang cinta mekar di sudut-sudut teras
dalam pot raksasa. Dan dua bougenvil kerdil memaku di bawah dua tiang teras. Di
atasnya, nusa indah merumpun seperti mahkota tiara, sementara batangnya
melengkung membentuk sebuah gerbang hijau menuju teras. Zahra selalu menganggap
dua bunga itu bersaudara, bougenvil dan nusa indah, karena bentuk mereka hampir
sama.
Zahra
memaku di antara bunga-bunga. Beberapa luka di tubuhnya mulai mengering. Sungguh menyenangkan menjadi kalian, tak
pernah saling mengganggu atau pun bertengkar apalagi menyakiti satu sama lain.
Sungguh berbeda dengan anak-anak di sini.
Seminggu yang lalu, anak-anak
tetangga melempariku dengan batu hanya karena aku ingin bermain bersama mereka.
Mereka menyebutku bocah gagu, tuli, bisu, ninja, anak teroris, sinting, dan
banyak lagi. Aku pulang sambil menangis, dengan muka penuh lebam. Biasanya,
saat anak tetangga menjahiliku, ibu hanya menyuruhku bersabar dan mendoakan
mereka, tapi hari itu ibu pergi ke rumah Pak RT, sambil menangis. Sementara
ayah menekan gerahamnya kuat-kuat untuk menahan marah. Pak RT pun menemui para
tetangga. Dan ibu-ibu dari anak yang melempariku dengan batu tidak terima.
Mereka bilang, aku yang salah, karena aku yang pertama melempari mereka dengan
batu. Padahal aku tidak melakukannya. Kata ibu, Tuhan maha tahu, kalau sudah
tiba waktunya, Tuhan akan menghukum orang yang bersalah.
Sejak hari itu, ibu semakin tidak
disukai banyak orang. Namun ibu mengalah dan memilih jalan damai dengan meminta
maaf. Beberapa hari kemudian, ibu memasak besar, membuat aneka jajan, dan
meracik nasi serta lauk dalam kotak. Lantas mengantarkannya ke para tetangga.
Dari Sembilan belas rumah, ada tujuh rumah yang tak mau membukakan pintu. Ibu
tahu betul mereka ada di rumah. Mereka hanya tak mau berurusan dengan keluarga
kami. Karena, menurut mereka, keluarga kami keluarga aneh. Hari itu ibu
menangis lagi. Melihat ibu menangis, aku ikut menangis. Aku meminta maaf pada
ibu, semua karena ulahku. Kalau aku tidak keluyuran ke pekarangan rumah
tetangga untuk ikut bermain dengan anak-anak tetangga, barangkali semua itu
takkan terjadi.
Kata ibu, semua itu sama sekali bukan
salahku. Orang-orang hanya tak suka dengan keluarga kami yang berbeda. Saat ibu
pergi untuk membeli cabai, ibu harus mengenakan kaus kaki dan cadar.
Orang-orang tidak menyukai itu. Saat ibu pergi ke arisan dan menghadiri
undangan warga, lagi-lagi ibu harus mengenakan kaus kaki dan cadar. Orang-orang
merasa risih dengan itu. Keluarga kami tak pernah sembahyang di masjid tempat
tetangga-tetangga kami bersembahyang. Dan mereka tidak mau menerima itu.
Orang-orang menganggap keluarga kami berbeda. Dan berbeda berarti mengancam.
Dan yang mengancam berarti harus dimusuhi.
Mendengar cerita ibu, aku menjadi
sangat sedih. Tidak bisakah orang-orang itu menjadi seperti bunga-bunga di
pekarangan rumah?
Bunga-bunga
di halaman rumah berbeda warna, ada yang bergetah ada yang tak bergetah, ada
yang berduri dan ada yang tak berduri, ada yang berbau wangi dan ada yang
berbau aneh, ada yang berdaun lebar dan ada yang berdaun mungil. Sungguh,
begitu banyak perbedaan pada bunga-bunga itu, tapi bunga-bunga itu tak pernah
berselisih paham atau memusuhi satu sama lain. Mereka tak pernah mengolok
ataupun membenci satu sama lain.
Petang itu, sambil memandikan
bunga-bunga, aku bertanya pada mawar, apakah ia membenci melati karena berwarna
putih? Dan kata mawar, sebab melatilah dirinya disebut mawar.
Lantas aku bertanya pada seruni,
apakah ia merasa iri pada bunga matahari yang begitu indah dan megah? Kata
seruni, tidak sama sekali, ia lebih suka menjadi seruni yang mungil, karena itu
takdirnya.
Lantas, aku bertanya pada kamboja,
jenis kalian sama, tapi warna kalian berbeda, apakah kalian akan baik-baik saja
dengan itu? Dan kamboja-kamboja itu pun berujar, kami sangat baik-baik saja
dengan warna kami. Perbedaan warna inilah yang membuat kami semakin berseri.
Aku sungguh heran, mengapa kalian
tidak pernah ribut-ribut, tanyaku lagi. Karena kami semua sama-sama bunga,
jenis hamba Tuhan yang sama, jawab mawar. Karena, aroma yang beraneka ini bukan
kami yang menentukan, ujar melati. Karena bentuk yang tak serupa ini Tuhan yang
memilihkan, ungkap bougenvil. Karena ukuran yang tak sama ini Tuhan yang
memutuskan, balas seruni. Dan karena, umur kami sangat pendek, seru bunga
matahari. Umur kami sangat pendek. Umur para bunga sangat pendek.
Zahra
menatap bunga-bunga itu tiada kejap. Angin berhembus pelan. Dan kepala bunga
kuning yang megah itu berayun ringan. Satu-dua kelopak tuanya tanggal. Zahra
memungut kelopak-kelopak gugur itu. Meletakkannya di telapak tangan.
Bunga-bunga tak pernah memiliki
umur panjang. Mereka menguncup, mekar, dan lalu mati dalam hitungan bulan,
bahkan hari, digantikan kuncup-kuncup baru. Haruskah waktu yang singkat itu
kami habiskan dengan bermusuhan? Bunga matahari melanjutkan.
Beberapa
bocah tetangga mengintai dari balik pagar, melihat Zahra berkomat-kamit,
berbisik dengan kelopak bunga matahari. Mereka pada berbisik. “Sinting. Bocah
perempuan itu sepertinya memang sinting. Lihat itu! Lihat saja! Ia berbicara
dengan kelopak bunga.” [end]
Malang,
2017
Mashdar
Zainal, lahir di Madiun 5 juni 1984, suka membaca dan menulis
puisi serta prosa. Tulisannya terpercik di beberapa media. Novel terbarunya,
Kartamani, Riwayat Gelap dari Bonggol Pohon, 2020. Kini bermukim di Malang.
Bagi yang ingin berbagi ilmu, kisah, dan seterusnya, boleh menyapa lewat
Facebook atau IG: Mashdar Zainal
0 Komentar