Mengingat Pelajaran Masa Kanak-Kanak
/1/
Pelajaran Mendongeng
: Timun Emas
Larilah Timun, larilah dari buritan rumah
ke gunung-gunung, ke lembah-lembah
meski ibu sejatinya adalah rumahmu
tapi pergi adalah cara terbaik untuk tahu apa itu rindu.
Ia yang menghamba pada raksasa
meminta seorang anak untuk ditimang
adalah si janda: mbok rondo begedhangan.
Ia yang cemas ketika umur menginjak 17
ketika telah pandai menanak beras, meracik bahan keramas
adalah Timun Emas.
Ia yang paham tata cara menghitung waktu
(entah belajar dari mana, tak ada yang tahu)
adalah raksasa dengan mata hijau.
Ia yang meramu dalam satu ruang-waktu
si janda, Timun Emas, dan raksasa
adalah janji yang begitu purba.
Bawalah Timun, bawalah kantong ini
berdiam di sana; harum jarum, amis terasi
bebiji mentimun, juga segenggam garam
segalanya benda-benda menyimpan keselamatan.
Sungguh gegas Timun Emas berlari,
tapi juga akas raksasa mengayun kaki
memangkas jarak yang berjejak-jejak
meringkas waktu pada dua telapak.
Berhentilah bedebah, sepikan kakimu dari langkah.
Telah kutabur bebiji mentimun yang sejenak merimbun.
Aku memang ranum, namun itulah yang sungguh mentimun
dengan tubuh basah tengadah di tanah-tanah.
Namun, apa arti berhenti
kalau hanya untuk berlari kembali?
Berhentilah bedebah, sepikan kakimu dari langkah.
Jarum ini konon masa lalu duri-duri bambu.
Kusebar sebagai pagar-pagar
(Kudengar Ibu menungguku dalam debar).
Tapi duri hanya semut di samping gajah
bagi kaki yang asing dari kata lelah.
Berhentilah bedebah, sepikan kakimu dari langkah.
Laut diciptakan dari sejumput garam:
airmata adam sewaktu tahu melanggar aturan Tuhan
kulempar garamku, kupugar gemetarku.
Laut menyimpan palung, menyimpan jauh tanpa ujung.
Raksasa berenang di debur gelombang yang gagal menenggelamkan.
Berhentilah bedebah, sepikan kakimu dari langkah.
Terasiku terasi lumpur, lumpur hitam yang tenang
berbaur dalam satu genangan
dan genangan tak perlu gelombang untuk menenggelamkan.
Untuk yang terakhir, Timun Emas tahu
seperti sihir, lumpur yang tenang menelan raksasa itu.
Ibu, ibu, bolehkah aku bertanya setelah kembali
terbuat dari apakah ketenangan hati?
/2/
Pelajaran Menggambar
Dua gunung agung menghimpit matahari
yang sendiri dan jarang sakit oleh cabikan sepi.
Beberapa burung terbang dengan lanskap senja
seperti pulang tapi entah ke mana—tak ada yang bertanya.
Kelokan jalan kecil ke arah sawah-sawah
dengan padi-padi menundukkan wajah ke tanah basah
sungai dan cemara-cemara di pinggirnya
seperti pada tempat biasa dalam cerita-cerita.
Terbangun di sana gubuk sederhana
tanpa penghuni, hanya cicak, kecok, dan laba-laba
bersembunyi dari putih dan silau cahaya.
Ia tahu kini tengah mengambar kenangan
di tengah hari yang sibuk dan suntuk oleh pekerjaan.
Di balik jendela: gedung-gedung tinggi, kendaraan
lalu-lalang, polusi, gang-gang sempit, wajah-wajah sendu
dan terlihat tua melebihi usianya, hiruk-pikuk, cuaca buruk.
/3/
Pelajaran Membaca
Kedamaian adalah ketika guru kita mengajarkan
ini Budi, ini Ibu Budi, ini Bapak Budi
tanpa mempermasalahkan agamanya, dari suku mana
berkulit apa, dan bagaimana bahasanya.
Ini Budi, budi dari segala budi.
Budi yang membudidayakan budi pekerti dalam diri.
Budi yang tergabung dari beda-beda budi.
Ini Ibu Budi, ibu dari segala ibu di dunia.
Ini Bapak budi, bapak dari segala bapak di dunia
Budi dan Ibu Budi dan Bapak Budi masing-masing membudidayakan perbedaan.
/4/
Pelajaran Menulis
Kita tak pernah diajarkan mencatat
meski pada hidup yang singkat.
Ibu, bagaimana bisa belajar dari masa lalu
kalau catatan kita kosong
sedangkan ingatan selalu mencintai kelupaan.
Kita adalah ulat yang menolak jadi kepompong
tapi berharap berubah kupu-kupu.
2016-2017
Ampo
—Kisah Pemakan Tanah
Ceritakanlah, simbah, ceritakanlah
bagaimana kalian makan tanah dengan tabah.
Apakah sebab penjajah jauh-jauh hari
pandai merampas kedelai, mengusung jagung,
singkong, dan padi, ataukah kepala cah tuban memang
selalu menginginkan percobaan?
Jauh sebelum orang-orang asing, orang-orang atas angin, cucuku
datang untuk berdagang, kemudian mengajak perang
tanpa pun mengenal buku, nenek moyang kami tahu
manusia bangkit dari tanah liat lalu jatuh menjadi mayat.
Lalu, simbah, lalu bagaimana kalian membuatnya
dan untuk apa mesti mencicipi tanah yang telah diinjak kaki?
Mula-mula hindari wilayah berpasir, cucuku, berair, atau berbatu
kami mengambil segendong tanah liat, digepuk sampai rekat
sampai padat, diiris tipis serupa serut kayu
atau selembar daun bambu.
Di atas tungku, cucuku, di atas tungku, dipangganglah tanah itu
sampai aromanya menguar bagai bau ubi jalar terbakar.
Kami sediakan itu bagi ibu-ibu hamil
dan seseorang yang sakit perut
dan seseorang yang kurang mengerti hakikat hidup.
2018
Kalau Aku Pulang, Ibu
Kalau aku pulang, ibu
sekali lagi ajari bagaimana cara merawat waktu.
Ilmu pengetahuan hari demi hari kugali
tidak sanggup memberi solusi.
Buku-buku kubaca
dan hanya menyisakan sesak di dada.
Huruf-hurufnya
jatuh ke mataku yang justru
dalam keadaan hati tak terbuka.
Kalau aku pulang, ibu
sekali lagi ajari bagaimana mengayunkan kaki
di kampung halaman
tanpa beban
tanah perantauan membentuk diriku
menjadi orang asing
yang kalau pulang seperti sedang
mengunjungi peradaban lain.
Kalau aku pulang, ibu
sekali lagi ajari bagaimana mengolah tanah
menanam padi hingga mengumpulkan gabah
melepas cemas hingga merajam dendam
hari ini kepalaku penuh sampah
keping-keping labirin
mata kuliah.
Jangan bertanya aku pulang membawa apa
atau membawa siapa.
Aku bahkan tak membawa diriku sendiri:
masa kanak yang pernah kau kenali.
2017
Daruz Armedian, pernah bergiat di Lesehan Sasta Kutub Yogyakarta dan Garawiksa Institut. Tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Media Indonesia, Kedaulatan rakyat, Republika, Pikiran Rakyat, Lampung Pos, Suara Merdeka, Nova, dll. Pemenang lomba menulis puisi se-DIY tahun 2016 dan 2017 yang diadakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta. Pemenang lomba manuskrip puisi tahun 2017 yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jawa Timur.
Email: armediandaruz@gmail.com
0 Komentar