Marah Roesli (1889-1968)

Terlahir dengan nama Marah Roesli bin Abu Bakar atau Marah Rusli merupakan sastrawan angkatan Balai Pustaka asli Indonesia, lahir pada 7 Agustus 1889 di Padang dan meninggal di Bandung 17 Januari 1968, dimakamkan di Ciomas, Bogor, Jawa Barat. Gelar “Marah” berasal dari silsilah sang ayah yang merupakan keturunan langsung bangsawan Pagaruyung.

Semasa sekolah, ia menjadi siswa pintar. Ia pernah menimba ilmu di sekolah Melayu hingga 1904, Sekolah Raja di Bukittinggi hingga 1910, dan melanjutkan Sekolah Dokter Hewan di Bogor hingga 1915. Kesempatan meneruskan pendidikan di luar negeri pun terhalang restu orangtua sebab ia anak tunggal.

Saat bersekolah di Bogor ia memutuskan untuk menikahi gadis Sunda kelahiran Bogor, Nyai Raden Ratna Kencana Wati, meskipun telah dijodohkan oleh orangtuanya. Pernikahan ini pun tanpa restu dari orangtuanya, dianggap melanggar adat Padang, dan akhirnya dikeluarkan dari ikatan kekeluargaan. Dengan tetap mempertahankan pernikahannya, ia memutuskan untuk pergi dan tak pernah kembali ke Padang hingga akhir hayatnya. Dari pernikahannya dikaruniai tiga anak, yaitu Safhan Rusli, Rushan Rusli, dan Nani Rusli.

Baca juga: Orhan Pamuk Penulis Turki yang Meraih Nobel Sastra

Setelah berkeluarga dan lulus dari Sekolah Dokter Hewan ia bekerja secara berpindah-pindah. Ia pernah menjadi Kepala Perhewanan di Bima (1916), Kepala Peternakan Hewan Kecil di Bandung (1918), Kepala Perhewanan Daerah di Blitar (1918), Asisten Dosen Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor (1920), Dokter Hewan di Jakarta (1921), bergabung di ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) di Tegal pada masa revolusi, Dosen di Sekolah Tinggi Dokter Hewan Kalten (1948), Kepala Perekonomian di Semarang (1950), Komisaris PSSI di Semarang, dan bekerja di Balai Pusat Penyelidikan Peternakan Bogor (1950-1960).

Ketekunan pada pekerjaan ternyata tetap sejalan dengan cintanya pada sastra. Sejak kecil ia menyukai dongeng dari tukang kaba dan buku-buku sastra. Kesenangannya pada membaca telah menambah pengetahuan akan perkembangan dan kemajuan zaman. Berkat pengetahuan inilah, pelan-pelan membuatnya berpikir tentang adanya adat yang mengikat masyarakat bahkan membelenggu kaum muda. Ia memutuskan untuk menyuarakan pendapatnya melalui menulis agar banyak orang mengetahuinya.

Dalam dunia kepenulisan, Marah Rusli pernah menggunakan nama pena Sadi B. Novel pertamanya diterbitkan pada 1922. Siti Nurbaya menjadi salah satu usaha menyuarakan pendapatnya tentang adat yang membelenggu kaum muda. Novel ini mendapat penghargaan dari Pemerintah RI pada 1969. Saking terkenalnya novel ini bahkan diterjemahkan dalam bahasa Rusia dan dapat dinikmati oleh masyarakat di luar Indonesia. Berkat kesuksesannya pula H. B. Jassin memberikan gelar Bapak Roman Modern Indonesia.

Novel Siti Nurbaya yang diberi anak judul Kasih Tak Sampai hingga cetakan ke 20 pada 1990 ini bercerita tentang seorang perempuan yang terjebak pada keadaan harus menurut pada adat dari orangtuanya atau memilih jalan hidupnya sendiri. Adanya novel ini kemudian memunculkan pemikiran mengenai hak-hak perempuan dalam perubahan zaman. Cerita Siti Nurbaya hingga kini masih dikagumi dan hidup dalam diskusi-diskusi pembaca bahkan menjadi bacaan wajib dalam mempelajari sastra modern. Karya fenomenal ini pun sempat difilmkan pada 1942 dan disinemaelektronikan (sinetron) pada 1991 dan 2004.

Selain Siti Nurbaya, karya terbaik lainnya adalah Anak dan Kemenakan yang berkisah tentang percintaan remaja terhalang norma adat dan status sosial. Kemudian ada La Hami, novel yang bercerita tentang pengalamannya selama di Sumbawa dan sempat disiarkan di TVRI pada 1986. Ia juga sempat menulis karya terjemahan dari novel Charles Dickens (1922) yang diberikan judul Gadis jang Malang. Selain itu, ada pula karya terakhir yang diterbitkannya setelah meninggal ialah Memang Jodoh. Memang Jodoh yang awalnya ditulis dalam huruf arab gundul hingga diketik manual ini menjadi tinggalan kisah hidup sang penulis. Novel ini diamanatkan untuk diterbitkan setelah semua tokoh di dalamnya meninggal dan sebagai kado pernikahan ke 50.

Di sisi lain dalam periode kepenulisannya, beberapa karya pun ternyata ditolak untuk diterbitkan oleh Balai Pustaka, seperti Tesna Zahera dan Anak Kandung.

Posting Komentar

0 Komentar