Lelaki itu melenggang keluar rumah di suatu pagi dan tapaknya tersayup pelan hingga hilang di kelokan. Seorang wanita yang menatapi tapak kaki si lelaki, masih mematung di depan pintu. Beberapa hari ini kepalanya terasa berat ketika melihat keenam anaknya. Dan barusan, si wanita mencurahkan apa-apa yang dirasa menindih batok kepalanya.
“Bukankah tak lebih baik jika dirimu mulai mengurusi beras-beras di gudang itu?” Karena yang ditanya diam, ia lanjut menimpali: “Ambil pulalah antar-jemput itu, duduk di kendaraan dalam perjalanan ke kantor mungkin bisa membantumu berpikir.”
Namun, lelaki di hadapannya terus menyuap sarapan.
“Itukan untuk anak-anak kita juga. Coba bayangkan wajah-wajah mereka, barangkali dengan mengingat mereka, kau jadi kepikiran untuk mengurusi pangkatmu di kantor.”
Lelaki itu malah mengambil segelas air, lalu meminumnya. Memandangi wajah istrinya. Ia paham apa yang tersirat dari sorot matanya. Ia mengerti, dari suara yang tulus itu, setenang dan sejernih embun, ada sesuatu yang diharapkan padanya.
“Kita toh belum kelaparan. Kita toh belum jadi gelandangan, kita toh masih bisa berpakaian,” jawab si lelaki dan ia tahu, setelah ini ia akan memandang guratan kecewa dari istrinya. Ini bukanlah yang pertama dan yang terakhir.
Pernah suatu hari, Nasution datang ke rumah lelaki itu untuk mewawancara, sebagai apresiasi atas karya si lelaki yang patut dibanggakan. Nasution ingin membuatkan buku atas karyanya. Berkali-kali Nasution datang, berkali-kali juga ditolak. Ia bahkan sampai hapal apa yang dikatakan lelaki itu: Saya bukan apa-apa... saya bukan apa-apa...
Tak cukup sampai di situ, Kali lain, presiden Soekarno ingin memberikan Satya Lencana Kebudayaan kepada lelaki itu. Namun, dengan tenang, ia menolaknya. Kendati ketenangannya tidak sama sekali dirasakan istrinya yang terkejut bukan main. Menyadari keterkejutan itu, si lelaki berkata: "Indonesia telah memberikan segala-galanya bagiku. Akan tetapi, aku merasa belum pernah menyumbangkan sesuatu yang berharga baginya. Aku tidak berhak menerima tanda jasa apa pun untuk apa-apa yang sudah kukerjakan. Karena itu, adalah semata-mata kewajibanku sebagai putera bangsa."
Padahal, lelaki itu memang berhak mendapatkan lencana. Namun, karena dua tahun lawatan ke India di masa silam, telah membuat banyak perubahan pada dirinya. Ia mulai menyingkirkan hal-hal yang bersifat duniawi, sebagai gambaran bahwa Hindu telah masuk ke dirinya. Ia menyayangi binatang dengan tidak memakan dagingnya, tidak ambisi terhadap penghargaan jasmani, tidak terlalu pusing dengan masalah keduniaan, dan lain halnya—demi mencapai kebahagian sejati, yang meresap di tanah mulia itu.
Landasan inilah yang benar-benar menyatu dalam dirinya; juga berbagai puisi dan dramanya, dengan merenungi kejayaan dan kemegahan serta kedamaian masa lampau.
Bagi lelaki itu, alam bukanlah sekadar lambang, tetapi juga objek penggubahan sajak-sajaknya: Sawah, Teja, dan Menumbuk Padi. Sedangkan pada buku kumpulan sajaknya yang berjudul Madah Kelana, terasa sarat akan keromantikan. Misalnya: Angin, Rindu, Bagi Kekasih, Kemuning, dan Bercinta.
Sajak terbesar pada buku Mada Kelana adalah Syiwa Nataraja. Sajak yang melukiskan keinginannya untuk bersatu dalam alam. Tampaknya ketika menciptakan sajak itu, ia mengeluarkan segala kekuatannya sehingga menghasilkan sajak yang megah itu. Masih banyak sajak-sajak yang bernapas sama, misalnya “Awan”, “Penyanyi”, “Pagi”, “Damai", dan “Bersila”. Hal itu membuktikan keyakinan si lelaki bahwa manusia harus bersatu dengan alam.
Selain sebagai penyair, si lelaki juga menulis drama dan ia merupakan penulis terbesar pada masa sebelum perang. Dua drama dalam bahasa Belanda, berjudul Air Langga dan Enzame Garoedavlucht dan tiga buah dramanya dalam bahasa Indonesia yang berjudul Kertajaya, Sandyakala Ning Majapahit, dan Manusia Baru.
Drama Manusia Baru menarik, karena kisah cinta kedua tokoh itu mirip dengan kisah cinta si lelaki. Ketika ia melamar kekasihnya, pihak keluarga perempuan meminta mahar sebesar tiga ribu gulden. Permintaan itu terlalu besar dan tidak bisa dibayar si lelaki, meski sebenarnya mahar sebesar itu bentuk penolakan yang lembut. Namun, reaksi si lelaki justu mengajak kekasihnya melakukan marlojong atau kawin lari. Ketika calon mertua mengetahuinya, akhirnya mahar diturunkan menjadi tiga ratus gulden—perkawinan pun dilaksanakan, meski diketahui maharnya bersumber dari uang pinjaman yang mana suatu hari dibayarkan oleh mertuanya.
Si lelaki boleh saja menolak penghargaan. Tapi karya-karyanya, selamanya akan punya harga tersendiri bagi siapa pun.
0 Komentar