Suami Sia dan Wabah


Ken Hanggara





Sudah setengah perjalanan. Aku tak harus berhenti sebentar di tempat terkutuk ini cuma demi sebotol anggur. Sebotol anggur tolol yang ditukar dengan nyawaku? Boleh jadi begitu; aku yakin ancaman di sini jauh lebih berbahaya ketimbang dengan kata-kata seorang aparat di sebuah kota yang dulu pernah kusinggahi bersama mantan istriku, Sia. Saat itu sang aparat berkata, “Kau sebaiknya ditembak tepat di jidatmu agar otakmu yang kotor dan tercemar paham terlarang itu habis sehabis-habisnya, hilang ditelan para semut atau luntur bersama air selokan, tetapi mungkin saja akan lebih baik jika dirimu mati pelan-pelan setelah lebih dulu kuikat dan seluruh anak buahku mengulitimu seperti kucing tak berdaya!”

“Apa yang membuatnya pantas mendapat perlakuan sekeji itu?” tukas istriku waktu itu.

“Karena dia sudah membangkang!”

Namun, kenyataannya tak pernah ada tindakan. Tak juga ada kematian saat itu dari orang-orang sepertiku yang dicap pembangkang dan jauh dari kata patuh oleh raja dan penegak hukum setempat. Semua sebatas kata-kata. Bukan karena mereka terlalu bodoh, tetapi kekuatan negeri kami ketika itu sudah berada di ambang maut. Seperti sebatang tubuh muda yang keropos, tak bisa diobati karena penyakit langka. Perang saudara yang meletus di negeri sebelah sedikit banyak membawa pengaruh. Raja dan pejabat yang dulu berkuasa perlahan kena batunya; orang-orang dari negeri tersebut kebanyakan lahir dari tanah kami, sehingga ketika mereka bermasalah, ketika kartu pertama domino jatuh dan merobohkan seluruh barisan akibat perang saudara itu, orang-orang kami juga yang kena imbas. Sebagian karena utang lama, sebagian karena dendam, sebagian lain karena alasan-alasan terkait silsilah keluarga, dan entah apa saja yang kukira kau bisa sebutkan seribu satu alasan untuk itu. Raja dan para pengikutnya berdiri di ujung tanduk. Hanya soal waktu sampai kekuasaan itu jatuh ke tangan orang-orang luar.

Karena itulah, aku dan Sia pergi dari rumah kami. Lagi pula tak ada yang bisa kami banggakan di sana. Tak ada keluarga. Tak juga ada teman yang benaran dekat. Semua orang terlihat begitu brengsek di mata kami. Terlalu banyak peristiwa menyakitkan dari mereka yang sulit kami lupakan. Pekerjaan pun hanya membuat kami pulang malam dan merasa tubuh ini tak ada bedanya dari kerbau-kerbau dungu yang harus kerja keras demi sedikit makanan. Jadi, masa bodoh ketika segala sistem mulai hancur. Tak ada yang tersisa selain harapan. Kami pergi ke tempat yang sangat jauh dengan membawa sebuah harapan.

Kini, setelah bertahun-tahun masa itu berlalu, sungguh aku merindu orang seperti si pejabat payah itu. Kata-katanya yang bejat, pada saat ini, terasa begitu ajaib, bak datang dari mimpi para nabi, bahkan keajaibannya hampir melebihi huruf-huruf yang tercetak di dalam kitab suci.

Betapa tidak? Harapan di tempat baru adalah racun yang kau suntikkan sendiri ke dalam tubuhmu. Darahmu dipenuhi racun yang membunuhmu tidak dalam waktu cepat, melainkan dengan perlahan dan pasti. Tahun demi tahun racun itu membusukkan tubuh dari dalam, membuatmu mulai lamban berpikir, dan payah dalam berusaha. Kau mulai sering sakit-sakitan dan itulah yang terjadi padaku empat tahun pertama usai kepergian kami ke negeri orang.

Tak lama setelah kusadari harapan itu sangat berbahaya, istriku mati tertabrak bus; dia saat itu sedang hamil tua. Sebuah kehamilan yang harusnya membawa anak pertama bagi kami usai pernikahan yang berlangsung nyaris dua dekade. Kutemukan tubuh Sia berbaring kaku di tengah jalan, dikerumuni orang-orang asing, ditutupi sehelai kelambu yang dicopot dengan terpaksa dari jendela sebuah restoran di dekat situ oleh seorang pelayan hanya agar tak menciptakan pemandangan mengerikan tubuh wanita hamil terbelah dua oleh roda, sementara sang bayi yang harusnya lahir dalam kondisi sehat tak lama lagi, ditemukan tak jauh dari sana, tergeletak malang tanpa nyawa di dekat kotak telepon umum dengan kepala yang separuh gepeng.

Orang-orang saat itu mengejar sopir bus, yang dianggap mabuk, karena kejadian itu memang tampak tak masuk akal untuk sebuah kecelakaan. Namun sang sopir mengaku ia terburu-buru pergi karena sebuah bencana besar terjadi di pinggiran kota. Aku tidak tahu apa kaitan ‘bencana besar’ itu dengan hari-hari kelam yang terjadi kemudian, tetapi aku yakin itu memang berkaitan. Aku merasa bahwa hari ketika istriku mati terbelah itu adalah hari dimulainya bencana jenis baru yang memusnahkan banyak manusia, paling tidak dalam negeri asing yang kujadikan rumah baruku ini. Hanya dalam hitungan bulan, orang-orang jatuh sakit tanpa para dokter tahu jenis penyakit mereka. Orang-orang itu mati dan penyakit itu menulari sebagian orang dan pastinya yang tertular itu juga mati dengan cara yang sangat aneh. Orang akhirnya mulai takut, berpikir bagaimana kalau kemudian mereka tertular, hanya karena mengurus mayat orang-orang sial ini? Jadilah mayat-mayat mulai dibiarkan saja tergeletak di jalanan. Aku tidak tertular, karena konon orang-orang berdarah B saja yang akan selamat.

“Apa yang membuat Anda yakin bahwa orang bergolongan darah B saja yang tidak akan tertular?” tanya seorang pembawa acara dalam sebuah program TV ke salah satu narasumber tentang penyakit aneh ini.

“Karena kami sudah membuktikannya. Para ilmuwan juga sudah memverifikasi hal itu. Mohon maaf, tak ada kriteria lain yang bisa kami tentukan sejauh ini selain itu, jadi untuk Anda sekalian yang bergolongan darah selain B, berdiamlah di rumah,” jelas sang narasumber.

Pernyataan itu memicu perdebatan sengit di mana-mana. Orang mulai percaya jika penyakit aneh ini hanyalah akal-akalan para pebisnis, atau pemerintah yang menyimpan suatu agenda jahat untuk uang dan kekuasaan semata. Sebagian beranggapan penyakit ini datang dari Tuhan karena kesombongan para ilmuwan yang menempati gedung dan laboratorium di pinggiran kota. Memang telah terbukti kemudian jika penyakit tersebut tersebar setelah salah seorang ilmuwan mengalami kecelakaan dalam eksperimen dan menyebabkan dia mati dan juga rekan-rekannya mati di hari yang sama, dengan cara yang tak masuk akal; tubuh mereka kejang-kejang dan mengeluarkan bola-bola kelereng dari dalam mulutnya, dan sebagian orang yang bekerja di luar gedung itu juga mati oleh karena tertular, di hari yang sama juga. Seorang ilmuwan yang menyadari itu meminta sopir bus yang kebetulan melintas di jalan raya untuk mengantarnya ke kantor polisi agar dia bisa menutup akses ke area itu secepat mungkin supaya penyakit buruk itu tak menyebar.

Tentu saja itu telah terlambat. Akses ke area laboratorium telah ditutup, tapi semua itu tak menghalangi debu-debu bekas kecelakaan eksperimen untuk menyebar ke setiap penjuru, sesuai arah angin bergerak. Seisi kota tertular (kecuali yang bergolongan darah B), lalu orang-orang mati, dan kemudian merembet ke kota lain, lalu menyebar lagi ke kota berikutnya, hingga hanya dalam hitungan bulan segala sendi kehidupan di negara ini kacau karena jumlah kematian tidak bisa dibendung. Mayat telantar di mana-mana, tergeletak dan tiada terurus seolah tubuh-tubuh kaku itu tak lebih dari sekadar boneka bekas yang patut dilupakan.

Situasi semakin kacau ketika sekelompok ilmuwan terbaik menyatakan tak ada obat untuk ini.

“Bagaimana mungkin kalian tak sanggup membuat obat untuk penyakit yang kalian telah datangkan?” tanya seorang ahli agama.

“Karena kami mencoba menyaingi pekerjaan Tuhan, dan sejujurnya saat ini kami tak tahu apakah sebenarnya kami memang mencoba menyaingi Tuhan atau tanpa kami sadari, sebenarnya kami sedang menyaingi pekerjaan iblis?”

Para ilmuwan itu akhirnya mati, bukan oleh penyakit tersebut, tetapi karena massa yang mengamuk dan merasa putus asa. Hanya orang-orang kaya yang selamat, karena di luar negeri segala sesuatunya terjamin; kamu akan tetap hidup tanpa harus mati konyol dan mengeluarkan kelereng-kelereng dari mulutmu ketika malaikat maut menjemput. Orang-orang tak berduit yang tak bisa kabur ke mana-mana hanya bisa putus asa dan mengamuk dan membunuh mereka yang dianggap menjadi pangkal masalah ini.

Aku sendiri sudah tak peduli pada apa pun. Mau ditembak mati pun, seperti kata si aparat di negara asalku dulu, aku sudah pasrah. Toh Sia sudah mati, tetapi tak ada yang peduli padaku. Orang-orang bahkan mungkin telah lupa kalau aku pernah ada dan kerja bersama mereka, sebagai warga asing yang terbata-bata bicara dalam bahasa mereka. Di fase ini, mereka hanya memburu orang-orang kaya untuk dibunuh, sebagai pelampiasan, lalu mencoba bertahan sebisanya agar tidak tertular penyakit aneh itu. Sayangnya tetap saja setiap hari selalu ada yang mati dengan berbutir kelereng tergeletak di dekat bibir mereka. Setiap hari selalu saja ada kulihat orang kejang lalu berakhir tak bernyawa dan membuat sudut-sudut kota perlahan mati pula karena ditinggalkan. Hampir seisi kota, bukan hanya kota ini saja kuyakin, sulit aku temui orang lain, selain yang bergolongan darah B.

Aku benaran ingin mati, tapi tidak tahu apa yang mesti kulakukan. Jadi aku berhenti makan, tapi kelaparan menyiksaku, dan kematian seorang ibu yang memiliki bayi kecil tak berdosa pada suatu hari membuatku berpikir betapa bodohnya aku. Bayi itu tak mati, tapi akhirnya ia kedinginan dan tak bertahan setelah kuusahakan sebisa mungkin untuk mencarikannya tempat tidur di bangunan-bangunan kosong tanpa mayat; yang sayang sekali hanya bisa kutemukan di tempat-tempat yang kurang hangat. Kematian bayi yang tak kukenal itu membuatku berpikir aku bisa memiliki hidup yang baru dengan wanita lain di negeri lain. Aku masih bisa membalas perjuangan Sia mengandung anak kami sebelum ia mati, dengan tetap membiarkan diriku hidup. Bukankah itu yang seharusnya seorang lelaki perbuat?

Maka, aku mencoba tetap hidup. Kucari jalan keluar dari negeri yang telah hancur ini. Apakah di luar sana tak ada penyakit serupa, aku tak yakin. Tak ada televisi selama dua bulan terakhir, tak ada akses internet selama jangka waktu yang sama, tapi aku tahu aku masih harus tetap hidup. Namun, itu memang tak mudah. Orang-orang liar yang tak tertular sepertiku tak selamanya sewaras diriku. Sebagian dari mereka akan membunuh jika diperlukan. Sebagian besar dari mereka kupercaya kehilangan iman dan akal sehat.

Alhasil aku hanya bisa berjalan di malam hari, dan tidur di siang yang terang dalam gedung di basement paling gelap. Aku bisa mengumpulkan makanan apa pun seadanya selama perjalanan. Aku hanya perlu berjalan ke utara, ke negeri lain yang mungkin akan menyambutku dengan lebih baik.

Harapan adalah racun, tetapi aku putuskan untuk menyuntikkannya lagi ke dalam darahku.

Bukankah aku masih hidup sejauh ini? Yang bisa membunuhku hanya orang-orang gila itu, dan aku tak akan menyia-nyiakan nyawaku demi sebotol anggur yang kulihat tergeletak tak jauh dari tenda di mana orang-orang liar itu sedang asyik berpesta.

Aku harus terus bergerak, tanpa suara. Menuju kehidupan baru yang entah seperti apa. [end]

 

Gempol, 13 Desember 2020

 

KEN HANGGARA, lahir 21 Juni 1991. Menulis cerpen, puisi, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media nasional dan lokal. Bukunya yang telah terbit: Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017) dan Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018). Segera terbit kumpulan cerita terbarunya berjudul Pengetahuan Baru Umat Manusia.

Posting Komentar

0 Komentar