Sudah setengah perjalanan. Aku tak harus berhenti sebentar di tempat
terkutuk ini cuma demi sebotol anggur. Sebotol anggur tolol yang ditukar dengan
nyawaku? Boleh jadi begitu; aku yakin ancaman di sini jauh lebih berbahaya
ketimbang dengan kata-kata seorang aparat di sebuah kota yang dulu pernah
kusinggahi bersama mantan istriku, Sia. Saat itu sang aparat berkata, “Kau
sebaiknya ditembak tepat di jidatmu agar otakmu yang kotor dan tercemar paham
terlarang itu habis sehabis-habisnya, hilang ditelan para semut atau luntur
bersama air selokan, tetapi mungkin saja akan lebih baik jika dirimu mati
pelan-pelan setelah lebih dulu kuikat dan seluruh anak buahku mengulitimu
seperti kucing tak berdaya!”
“Apa yang membuatnya pantas mendapat perlakuan sekeji itu?” tukas istriku
waktu itu.
“Karena dia sudah membangkang!”
Namun, kenyataannya tak pernah ada tindakan. Tak juga ada kematian saat itu
dari orang-orang sepertiku yang dicap pembangkang dan jauh dari kata patuh oleh
raja dan penegak hukum setempat. Semua sebatas kata-kata. Bukan karena mereka
terlalu bodoh, tetapi kekuatan negeri kami ketika itu sudah berada di ambang
maut. Seperti sebatang tubuh muda yang keropos, tak bisa diobati karena
penyakit langka. Perang saudara yang meletus di negeri sebelah sedikit banyak
membawa pengaruh. Raja dan pejabat yang dulu berkuasa perlahan kena batunya;
orang-orang dari negeri tersebut kebanyakan lahir dari tanah kami, sehingga
ketika mereka bermasalah, ketika kartu pertama domino jatuh dan merobohkan
seluruh barisan akibat perang saudara itu, orang-orang kami juga yang kena
imbas. Sebagian karena utang lama, sebagian karena dendam, sebagian lain karena
alasan-alasan terkait silsilah keluarga, dan entah apa saja yang kukira kau
bisa sebutkan seribu satu alasan untuk itu. Raja dan para pengikutnya berdiri
di ujung tanduk. Hanya soal waktu sampai kekuasaan itu jatuh ke tangan
orang-orang luar.
Karena itulah, aku dan Sia pergi dari rumah kami. Lagi pula tak ada yang
bisa kami banggakan di sana. Tak ada keluarga. Tak juga ada teman yang benaran
dekat. Semua orang terlihat begitu brengsek di mata kami. Terlalu banyak
peristiwa menyakitkan dari mereka yang sulit kami lupakan. Pekerjaan pun hanya
membuat kami pulang malam dan merasa tubuh ini tak ada bedanya dari
kerbau-kerbau dungu yang harus kerja keras demi sedikit makanan. Jadi, masa
bodoh ketika segala sistem mulai hancur. Tak ada yang tersisa selain harapan.
Kami pergi ke tempat yang sangat jauh dengan membawa sebuah harapan.
Kini, setelah bertahun-tahun masa itu berlalu, sungguh aku merindu orang
seperti si pejabat payah itu. Kata-katanya yang bejat, pada saat ini, terasa
begitu ajaib, bak datang dari mimpi para nabi, bahkan keajaibannya hampir
melebihi huruf-huruf yang tercetak di dalam kitab suci.
Betapa tidak? Harapan di tempat baru adalah racun yang kau suntikkan
sendiri ke dalam tubuhmu. Darahmu dipenuhi racun yang membunuhmu tidak dalam
waktu cepat, melainkan dengan perlahan dan pasti. Tahun demi tahun racun itu
membusukkan tubuh dari dalam, membuatmu mulai lamban berpikir, dan payah dalam
berusaha. Kau mulai sering sakit-sakitan dan itulah yang terjadi padaku empat
tahun pertama usai kepergian kami ke negeri orang.
Tak lama setelah kusadari harapan itu sangat berbahaya, istriku mati
tertabrak bus; dia saat itu sedang hamil tua. Sebuah kehamilan yang harusnya
membawa anak pertama bagi kami usai pernikahan yang berlangsung nyaris dua
dekade. Kutemukan tubuh Sia berbaring kaku di tengah jalan, dikerumuni
orang-orang asing, ditutupi sehelai kelambu yang dicopot dengan terpaksa dari
jendela sebuah restoran di dekat situ oleh seorang pelayan hanya agar tak
menciptakan pemandangan mengerikan tubuh wanita hamil terbelah dua oleh roda,
sementara sang bayi yang harusnya lahir dalam kondisi sehat tak lama lagi,
ditemukan tak jauh dari sana, tergeletak malang tanpa nyawa di dekat kotak
telepon umum dengan kepala yang separuh gepeng.
Orang-orang saat itu mengejar sopir bus, yang dianggap mabuk, karena
kejadian itu memang tampak tak masuk akal untuk sebuah kecelakaan. Namun sang
sopir mengaku ia terburu-buru pergi karena sebuah bencana besar terjadi di
pinggiran kota. Aku tidak tahu apa kaitan ‘bencana besar’ itu dengan hari-hari
kelam yang terjadi kemudian, tetapi aku yakin itu memang berkaitan. Aku merasa bahwa
hari ketika istriku mati terbelah itu adalah hari dimulainya bencana jenis baru
yang memusnahkan banyak manusia, paling tidak dalam negeri asing yang kujadikan
rumah baruku ini. Hanya dalam hitungan bulan, orang-orang jatuh sakit tanpa
para dokter tahu jenis penyakit mereka. Orang-orang itu mati dan penyakit itu
menulari sebagian orang dan pastinya yang tertular itu juga mati dengan cara
yang sangat aneh. Orang akhirnya mulai takut, berpikir bagaimana kalau kemudian
mereka tertular, hanya karena mengurus mayat orang-orang sial ini? Jadilah
mayat-mayat mulai dibiarkan saja tergeletak di jalanan. Aku tidak tertular,
karena konon orang-orang berdarah B saja yang akan selamat.
“Apa yang membuat Anda yakin bahwa orang bergolongan darah B saja yang
tidak akan tertular?” tanya seorang pembawa acara dalam sebuah program TV ke
salah satu narasumber tentang penyakit aneh ini.
“Karena kami sudah membuktikannya. Para ilmuwan juga sudah memverifikasi
hal itu. Mohon maaf, tak ada kriteria lain yang bisa kami tentukan sejauh ini
selain itu, jadi untuk Anda sekalian yang bergolongan darah selain B,
berdiamlah di rumah,” jelas sang narasumber.
Pernyataan itu memicu perdebatan sengit di mana-mana. Orang mulai percaya
jika penyakit aneh ini hanyalah akal-akalan para pebisnis, atau pemerintah yang
menyimpan suatu agenda jahat untuk uang dan kekuasaan semata. Sebagian
beranggapan penyakit ini datang dari Tuhan karena kesombongan para ilmuwan yang
menempati gedung dan laboratorium di pinggiran kota. Memang telah terbukti kemudian
jika penyakit tersebut tersebar setelah salah seorang ilmuwan mengalami
kecelakaan dalam eksperimen dan menyebabkan dia mati dan juga rekan-rekannya
mati di hari yang sama, dengan cara yang tak masuk akal; tubuh mereka
kejang-kejang dan mengeluarkan bola-bola kelereng dari dalam mulutnya, dan
sebagian orang yang bekerja di luar gedung itu juga mati oleh karena tertular,
di hari yang sama juga. Seorang ilmuwan yang menyadari itu meminta sopir bus
yang kebetulan melintas di jalan raya untuk mengantarnya ke kantor polisi agar
dia bisa menutup akses ke area itu secepat mungkin supaya penyakit buruk itu
tak menyebar.
Tentu saja itu telah terlambat. Akses ke area laboratorium telah ditutup,
tapi semua itu tak menghalangi debu-debu bekas kecelakaan eksperimen untuk
menyebar ke setiap penjuru, sesuai arah angin bergerak. Seisi kota tertular
(kecuali yang bergolongan darah B), lalu orang-orang mati, dan kemudian
merembet ke kota lain, lalu menyebar lagi ke kota berikutnya, hingga hanya
dalam hitungan bulan segala sendi kehidupan di negara ini kacau karena jumlah
kematian tidak bisa dibendung. Mayat telantar di mana-mana, tergeletak dan
tiada terurus seolah tubuh-tubuh kaku itu tak lebih dari sekadar boneka bekas
yang patut dilupakan.
Situasi semakin kacau ketika sekelompok ilmuwan terbaik menyatakan tak ada
obat untuk ini.
“Bagaimana mungkin kalian tak sanggup membuat obat untuk penyakit yang
kalian telah datangkan?” tanya seorang ahli agama.
“Karena kami mencoba menyaingi pekerjaan Tuhan, dan sejujurnya saat ini kami
tak tahu apakah sebenarnya kami memang mencoba menyaingi Tuhan atau tanpa kami
sadari, sebenarnya kami sedang menyaingi pekerjaan iblis?”
Para ilmuwan itu akhirnya mati, bukan oleh penyakit tersebut, tetapi karena
massa yang mengamuk dan merasa putus asa. Hanya orang-orang kaya yang selamat,
karena di luar negeri segala sesuatunya terjamin; kamu akan tetap hidup tanpa
harus mati konyol dan mengeluarkan kelereng-kelereng dari mulutmu ketika
malaikat maut menjemput. Orang-orang tak berduit yang tak bisa kabur ke
mana-mana hanya bisa putus asa dan mengamuk dan membunuh mereka yang dianggap
menjadi pangkal masalah ini.
Aku sendiri sudah tak peduli pada apa pun. Mau ditembak mati pun, seperti
kata si aparat di negara asalku dulu, aku sudah pasrah. Toh Sia sudah mati,
tetapi tak ada yang peduli padaku. Orang-orang bahkan mungkin telah lupa kalau
aku pernah ada dan kerja bersama mereka, sebagai warga asing yang terbata-bata
bicara dalam bahasa mereka. Di fase ini, mereka hanya memburu orang-orang kaya
untuk dibunuh, sebagai pelampiasan, lalu mencoba bertahan sebisanya agar tidak
tertular penyakit aneh itu. Sayangnya tetap saja setiap hari selalu ada yang
mati dengan berbutir kelereng tergeletak di dekat bibir mereka. Setiap hari
selalu saja ada kulihat orang kejang lalu berakhir tak bernyawa dan membuat
sudut-sudut kota perlahan mati pula karena ditinggalkan. Hampir seisi kota,
bukan hanya kota ini saja kuyakin, sulit aku temui orang lain, selain yang
bergolongan darah B.
Aku benaran ingin mati, tapi tidak tahu apa yang mesti kulakukan. Jadi aku
berhenti makan, tapi kelaparan menyiksaku, dan kematian seorang ibu yang
memiliki bayi kecil tak berdosa pada suatu hari membuatku berpikir betapa
bodohnya aku. Bayi itu tak mati, tapi akhirnya ia kedinginan dan tak bertahan
setelah kuusahakan sebisa mungkin untuk mencarikannya tempat tidur di
bangunan-bangunan kosong tanpa mayat; yang sayang sekali hanya bisa kutemukan
di tempat-tempat yang kurang hangat. Kematian bayi yang tak kukenal itu
membuatku berpikir aku bisa memiliki hidup yang baru dengan wanita lain di
negeri lain. Aku masih bisa membalas perjuangan Sia mengandung anak kami
sebelum ia mati, dengan tetap membiarkan diriku hidup. Bukankah itu yang
seharusnya seorang lelaki perbuat?
Maka, aku mencoba tetap hidup. Kucari jalan keluar dari negeri yang telah
hancur ini. Apakah di luar sana tak ada penyakit serupa, aku tak yakin. Tak ada
televisi selama dua bulan terakhir, tak ada akses internet selama jangka waktu
yang sama, tapi aku tahu aku masih harus tetap hidup. Namun, itu memang tak
mudah. Orang-orang liar yang tak tertular sepertiku tak selamanya sewaras
diriku. Sebagian dari mereka akan membunuh jika diperlukan. Sebagian besar dari
mereka kupercaya kehilangan iman dan akal sehat.
Alhasil aku hanya bisa berjalan di malam hari, dan tidur di siang yang
terang dalam gedung di basement paling gelap. Aku bisa mengumpulkan makanan apa
pun seadanya selama perjalanan. Aku hanya perlu berjalan ke utara, ke negeri
lain yang mungkin akan menyambutku dengan lebih baik.
Harapan adalah racun, tetapi aku putuskan untuk menyuntikkannya lagi ke
dalam darahku.
Bukankah aku masih hidup sejauh ini? Yang bisa membunuhku hanya orang-orang
gila itu, dan aku tak akan menyia-nyiakan nyawaku demi sebotol anggur yang
kulihat tergeletak tak jauh dari tenda di mana orang-orang liar itu sedang
asyik berpesta.
Aku harus terus bergerak, tanpa suara. Menuju kehidupan baru yang entah
seperti apa. [end]
Gempol, 13
Desember 2020
KEN HANGGARA, lahir 21 Juni 1991. Menulis cerpen,
puisi, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media nasional dan
lokal. Bukunya yang telah terbit: Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017) dan
Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018). Segera terbit kumpulan cerita
terbarunya berjudul Pengetahuan Baru Umat Manusia.
0 Komentar