Oleh Akhmad Idris
Bangsa Indonesia tercipta sebagai bangsa yang plural sehingga saling menghargai menjadi kunci utama dalam mempertahankan identitas nasional. Pelbagai suku, agama, budaya, dan lain sebagainya yang tersebar dalam pulau-pulau itulah yang menjadi identitas manusia Indonesia. Sayangnya, keberagaman kerap kali dipandang sebagai kelemahan dan ancaman bagi persatuan bangsa. Perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan sering dipercaya akan menimbulkan perpecahan, perselisihan, dan peperangan. Kepercayaan yang ‘kurang berdasar’ ini dilatarbelakangi oleh fakta-fakta kecil (seperti konflik antarsuku, rasisme, perseteruan antaragama) yang disoroti dan fakta-fakta besar seperti etnik Madura yang tinggal di Jawa dan tetap baik-baik saja⎯⎯berdasarkan penelitian Idris (2018) dalam Nama Haji pada Etnik Madura tentang etnik Madura yang tinggal di Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo⎯⎯etnik Minang yang menetap di Pulau Jawa dan sama sekali tidak terjadi masalah⎯⎯berdasarkan penelitian Ariyani (2013) tentang strategi adaptasi orang Minang ketika hidup berdampingan dengan masyarakat Jawa⎯⎯dan kelompok beda agama yang saling menghormati dan menghargai di seluruh pelosok Indonesia yang justru diabaikan. Padahal, keberagamanlah yang membuat bangsa Indonesia kuat dan kaya.
Penelitian Atabik (2016) tentang kerukunan antar-etnis dan antar-agama di Lasem jelas membuktikan
bahwa keberagaman tidak pernah menjadi kelemahan maupun ancaman. Atabik menyebutkan
bahwa hubungan yang harmonis antara masyarakat Lasem dengan etnik Cina telah berlangsung
sejak abad XIV hingga saat ini. Harmonisasi tersebut semakin kuat ketika masyarakat
Lasem dan etnis Cina sama-sama berjuang melawan penjajah. Hubungan keagamaan juga
terjalin cukup baik antara masyarakat Lasem yang didominasi muslim dan etnik Cina
yang didominasi non-muslim. Konflik yang terjadi di tengah keberagaman sudah seyogianya
tidak mengambinghitamkan keberagaman sebagai sumber masalah, tetapi pola pikir manusianya
sendiri yang perlu diluruskan. Persebaran pulau dengan kondisi geografis yang
berbeda nyatanya membuat Indonesia menghasilkan beragam kekayaan bumi yang
dinanti oleh negara-negara luar, seperti menempati peringkat pertama sebagai eksportir
timah di dunia (menurut Ferdi Hasiman selaku peneliti Alpha Research Database
pada tahun 2020); menduduki peringkat ke-21 dalam Indeks Keberlanjutan Pangan
(menurut Lembaga Riset dan Analisis Ekonomi Internasional pada tahun 2017);
menjadi Negara Maritim terbesar ke-2 di Asia (menurut Menteri Kelautan dan Perikanan
pada tahun 2016); dan pemilik wilayah hutan bakau terluas di Asia Tenggara
(menurut simposium mangrove se-Asia Tenggara di Surabaya pada tahun 2013).
Keberagaman tidak selayaknya membuat manusia ‘kebingungan’ ihwal identitas
nasionalnya, sebab keberagaman seharusnya bisa memperkuat eksistensi identitas nasional
di tengah gempuran budaya global. Pemahaman ihwal keberagaman ini akan menjadi lebih
sempurna dengan analogi ‘sambal’. Rasa lezat dan nikmat sambal diperoleh dari kombinasi
unsur cabai, terasi, tomat, gula, dan garam. Tanpa campuran unsur yang
berbeda-beda tersebut, kelezatan sambal tak akan pernah bisa dirasakan. Jika hanya
menggunakan cabai, makahanya rasa pedas yang diperoleh. Begitu pula seterusnya.
Sampai di sini, dapat dipahami bahwa keberagaman itu meneguhkan persatuan.
Pemahaman yang baik bahwa orang Minang; Jawa; Madura; Sunda; Bali; Ambon; Papua; dan semuanya adalah bagian dari Indonesia, akan menumbuhkan rasa ingin mempertahankan identitas manusia Indonesia yang secara perlahan mulai tergerus oleh arus budaya asing. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Hogg & Terry dalam Social Identity and Self-Categorization Processes in Organizational Contexts bahwa rasa keterikatan dan bangga yang berasal dari pengetahuan seseorang terhadap keanggotaan sosialnya memiliki pengaruh penting dalam pembentukan identitas sosialnya. Identitas ke-Indonesia-an tidak akan hilang selama orang Minang, Jawa, dan semuanya tetap merasa terikat⎯⎯karena Minang, Jawa, Bali, dan semuanya adalah satu kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia⎯⎯dan merasa bangga dengan status etnisitasnya karena menjadi bagian dari Indonesia. Fakta bahwa orang Indonesia yang merasa malu dan canggung dalam menggunakan bahasa Indonesia ketika belajar bahasa asing, ‘sudah cukup’ untuk dijadikan bukti bahwa keberadaan identitas manusia Indonesia tengah terancam oleh identitas asing. Keputusan Presiden Joko Widodo untuk menandatangani Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, sudah cukup menjadi fakta tak terbantahkan bahwa kebanyakan para pejabat negara lebih menyukai penggunaan istilah asing daripada istilah bahasa sendiri sesuai KBBI. Di dalam Peraturan Presiden tersebut, dijelaskan bahwa Presiden; Wakil Presiden; dan pejabat negara wajib berpidato menggunakan bahasa Indonesia di kancah Nasional dan Internasional.
Takhan yaitu geliat bahasa lokal yang mulai kehilangan penuturnya dan kearifan
lokal yang juga mulai turut kehilangan pelaku dan penjaganya, menjadi penanda bahwa
pemahaman yang baik tentang identitas manusia Indonesia adalah hal yang sangat mendesak.
UNESCO sendiri telah membuat kategori tentang tingkatan keadaan bahasa menjadi enam
golongan, yakni aman, rentan, terancam, sangat terancam, hampir punah, dan punah.
Tingkatan aman berarti bahasa digunakan oleh semua generasi, tingkatan rentan berarti
bahasa hanya digunakan oleh anak-anak pada kegiatan tertentu, tingkatan terancam
berarti anak-anak tidak lagi menggunakan bahasanya sebagai bahasa Ibu,
tingkatan sangat terancam berarti bahasa hanya dituturkan oleh orang-orang tua,
tingkatan hampir punah berarti bahasa hanya digunakan oleh orang-orang tua dan sudah
mulai jarang dituturkan, dan yang terakhir tingkatan punah berarti tidak ada penuturnya
sama sekali.
Dian dalam Bahasa
Daerah Terancam Punah mengungkapkan bahwa dari 719
bahasa lokal yang terdapat di Indonesia, hanya menyisakan 707 bahasa yang masih
bertahan. Sementara sisanya (12 bahasa) sudah dinyatakan punah. Selanjutnya dari
707 bahasa yang masih ada, terdapat 266 bahasa yang terancam punah dan 76
bahasa yang hampir punah. Jika dibiarkan, maka bukan hal yang mustahil bahwa
Indonesia akan kehilangan identitas keberagaman bahasanya.
Menjadi manusia Indonesia tidak berarti menanggalkan atribut lokalitas,
tetapi lokalitas itu sendirilah yang menjadi identitas manusia Indonesia. Orang
Indonesia juga harus berbangga diri dengan keberagaman ini, sebab Negara
Indonesia menjadi satu di antara jajaran negara dengan jumlah etnis terbanyak sekaligus
pemilik bahasa terbanyak di dunia. Berdasarkan informasi yang telah dikelola oleh
laman Indonesia.go.id, jumlah suku di Indonesia hingga saat ini adalah tiga ratus suku
bangsa. Sementara pihak BPS sendiri menyatakan bahwa jumlah suku bangsa di
Indonesia adalah 1.331 berdasarkan sensus pada tahun 2010. Karena memiliki jumlah
suku bangsa yang beragam, secara otomatis Indonesia juga memiliki bahasa yang
berlimpah. Berdasarkan informasi dari Ethnologue: Language of the World, disebutkan bahwa bahasa yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sejumlah
710 bahasa. Beberapa pemerhati bahasa yang diisi oleh peneliti kebahasaan bahkan
menyebutkan jumlah bahasa di Negara Indonesia lebih dari itu, sebab beberapa bahasa
terancam punah karena kehilangan penuturnya sehingga cukup sulit untuk mengidentifikasinya.
Merujuk pada pernyataan Barker dalam Cultural Studies, disebutkan bahwa identitas adalah perbedaan dan persamaan ihwal aspek
personal dan sosial, ihwal ciri khas yang membuat setiap individu sama dan berbeda
dengan individu lainnya; maka keberagaman yang membangun Indonesia merupakan hal
yang membedakan manusia Indonesia dengan manusia ‘non-Indonesia’. Jika bangsa-bangsa
lain teridentifikasi karena ‘keseragaman’, maka bangsa Indonesia bisa dikenali justru
karena ‘keberagamannya’.
Akhmad Idris, seorang Dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya sekaligus penulis. Karya beliau berupa kumpulan esai, cerpen, puisi, dan beberapa artikel ilmiah Karya solo beliau berjudul Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia diterbitkan tahun 2020. Beliau dapat dihubungi melalui fb: Akhmad Idris dan ig: @elakhmad.
0 Komentar