Adam Yudhistira








Kepulangan Ladimi yang begitu tiba-tiba, tentu saja membuat orang-orang Kampung Kelingi disergap rasa tak percaya. Bagaimana tidak, mereka masih mengingat dengan jelas peristiwa menggemparkan sepuluh tahun yang lalu, saat pemuda itu menghilang dengan cara misterius pada suatu petang yang bergerimis.

Pada saat itu orang-orang mencarinya. Tak ada lekuk Kampung Kelingi yang tak disusuri. Dari hutan Kemuning hingga sepanjang aliran Sungai Batang Meranti tak ada yang tak dijelajahi. Namun jangankan jasad, jejaknya saja tak ada. Pencarian itu tak menghasilkan apa-apa.

Satu tahun selepas menghilangnya Ladimi, Nyi Baiduri, ibu kandungnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang-orang bersepakat, perempuan itu mati akibat menanggung kesedihan lantaran hilangnya Ladimi, anaknya semata wayang, buah perkawinannya dengan Samiri, lelaki pendatang yang meninggalkannya saat Ladimi masih berusia tujuh bulan dalam kandungan.

Segelintir orang bersaksi, tiga malam sebelum Ladimi kembali ke Kampung Kelingi, mereka melihat kelebat bayang-bayang muncul dari jalan setapak menuju Bukit Mategelung. Kuat dugaan, kelebat bayangan itu adalah Ladimi. Namun, kesaksian itu diragukan keabsahannya, tersebab penuturnya adalah orang-orang yang biasa mabuk di lepau tuak Mak Jahroh.

Sejak kepulangannya, Ladimi langsung menjadi perbincangan. Orang-orang penasaran, ke mana Ladimi si bocah kumal bertubuh ceking itu pergi. Ia mungkin telah terkubur di suatu tempat, sebab Ladimi yang sekarang menjelma sosok pemuda tampan yang membuat gadis-gadis berebut mencari perhatian.

Jalan yang biasa dilewatinya saban pergi ke surau menjadi tempat duduk-duduk para gadis. Apabila melihat pemuda itu lewat, mereka akan berebut melakukan apa saja untuk menarik perhatiannya. Tak jarang terjadi kericuhan kecil di antara mereka dan semua itu tentu saja karena pesona dan kegagahan yang ada pada Ladimi.

Berbilang minggu kemudian, Ladimi menjadi biang mudarat di Kampung Kelingi. Jika ada rumah tangga retak, maka tudingan mengarah pada Ladimi. Jika ada pertunangan dibatalkan sepihak, maka tudingan juga akan diarahkan pada Ladimi. Singkatnya, Ladimi dianggap perusak hubungan lelaki dan perempuan di Kampung Kelingi.

Entah siapa pula yang mula-mula meniupkan kabar celaka itu. Mereka berkata Ladimi menyebarkan tenung pemikat yang membuat para wanita tergila-gila. Desas-desus itu mengeduk kembali hikayat kelam orang tuanya. Bagaimana Nyi Baiduri menjatuhkan pilihan pada Samiri—pemuda yang konon datang ke Kampung Kelingi tanpa sebab tanpa riwayat.

Sebagian orang berkata Samiri jelmaan Puyang Matauh. Raja Orang Bunian yang jatuh hati pada Baiduri, makhluk gaib yang mendiami Bukit Mategelung. Desas-desus perihal kesaksian orang-orang di lepau tuak Mak Jahroh beberapa waktu lalu, semakin memperkuat tuduhan itu. Ladimi anak titisan Orang Bunian.


“Kalian ingat dulu bagaimana Samiri memikat Nyi Baiduri?” kata Mat Boneh di hadapan puluhan orang yang duduk di lepau tuak Mak Jahroh.


“Ya, aku ingat,” timpal Dayat. Lelaki bertubuh gemuk itu dengan penuh semangat membumbui cerita Mat Boneh. “Nyi Baiduri meninggalkan Rosidi lalu menikahi Samiri, padahal rencana pernikahan mereka hanya tinggal menghitung hari.”


Nah, kalau begitu, kenapa harus heran? Tak akan syak lagi. Ladimi itu anak Orang Bunian. Pemuda itu pasti memakai tenung pemberian bapaknya.”


Orang-orang terdiam mendengar perkataan Mat Boneh. Konon tenung Orang Bunian itu memiliki daya pikat luar biasa. Dugaan itu cocok dengan Ladimi, bahwa hanya dalam tempo tiga bulan saja sejak kepulangannya, pemuda itu berhasil membuat banyak gadis jatuh cinta dan tergila-gila.

Bahkan bukan itu saja, sebagian lelaki itu mengaku pernah memergoki Ladimi membawa gadis-gadis itu ke rumahnya. Prasangka membiak di kepala mereka, tentulah pemuda itu melakukan perbuatan kotor yang mengundang bencana dan semua itu dilakukannya dengan tenung pemberian bapaknya. Makhluk jahat dari Bukit Mategelung.

Perihal cerita Mat Boneh, orang-orang pun tak mampu menyangkalnya. Sudah lazim dikisahkan turun temurun, bagaimana angkernya Bukit Mategelung. Di sana bertahta kerajaan Orang Bunian. Makhluk-makhluk setengah siluman yang kerap menjadikan anak-anak perawan sebagai pelampiasan syahwat dan pencabulan. Kisah ini beranak-pinak di tiap kepala dan menjadi dendam lama yang tak terbalaskan.


Ada baiknya perkara ini kita adukan pada Wak Zaini,” cetus Dayat geram, “Ladimi mesti diusir dari kampung ini. Kalau dia menolak, kita habisi.”


Usul keji itu dengan lekas disepakati. Mereka berbondong mendatangi kediaman Wak Zaini. Sebagai Tetua Kampung, lelaki tua itu hanya bisa mengamini. Ia berjanji akan meminta Ladimi pergi dari Kampung Kelingi.


***

 

Aku tidak bisa menuruti permintaan mereka. Bahkan jika mereka membunuhku, aku tidak akan pergi dari kampung ini.


Wak Zaini memegang pundak Ladimi, “Aku percaya kau tidak melakukannya. Aku kenal baik mendiang ibu-bapakmu.”


“Aku tak pernah mengotori kampung ini,” kata Ladimi dengan mata menerawang, “aku hanya ingin pulang.”


Ladimi lantas menceritakan pada Wak Zaini, perihal kepergiannya bertahun-tahun lalu, pada malam ketika ia dikabarkan hilang. Malam itu, bapaknya datang, setelah sekian lama menghilang. Orang tuanya bertengkar hebat. Ia masih terlampau belia untuk paham persoalan itu. Namun, satu yang Ladimi tahu, bapaknya punya istri baru.

 Puncak dari pertengkaran itu, bapaknya pergi lagi, tapi kali ini membawa Ladimi. Ia yang masih belia, tak kuasa menolak kehendak bapaknya. Meski dirinya meronta-ronta, tangan kekar bapaknya memisahkan ia dengan ibunya. Malam itu juga, Ladimi dibawa ke pulau Jawa—tanah yang diakui sebagai asal bapaknya.


“Itulah cerita sebenarnya,” lirih Ladimi.


“Tapi kepala orang-orang kampung ini sudah kadung dipenuhi api. Aku tak ingin hal buruk terjadi padamu,” kata Wak Zaini mencoba mendesak Ladimi.


“Tak mengapa. Persoalan ini jangan sampai menjadi beban. Biarlah besok atau lusa, aku sendiri yang akan menjelaskannya,” pungkas Ladimi.


Mendengar jawaban itu, Wak Zaini tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mengelus-elus kepala Ladimi, lalu meninggalkan pemuda itu tanpa bicara.


***

 

Malam itu, bulan membakar pucuk-pucuk trembesi tua. Sekelompok lelaki berkumpul di tanah lapang dekat pekuburan umum Kampung Kelingi. Di hadapan bias cahaya obor yang berkeridip, nama Ladimi disebut berkali-kali.


Kita sudah memperingatkannya, tapi tidak juga gubrisnya.


“Pemuda keparat itu mencari mati.


Puluhan lelaki berdiri, mengacungkan parang ke udara. Parang-parang itu berkilau ditimpa cahaya bulan. Kemudian bersusul-susulan dengan teriakan penuh amarah.


Hanya hukuman mati yang layak diterima tukang tenung.”


Ya! Dia harus dibinasakan!


“Ya! Cincang saja!”


“Ya! Habisi dia!”


“Ya! Ya! Ya!”


Memasuki tengah malam, rombongan itu mencapai kata sepakat. Ladimi harus mati. Mereka meninggalkan tanah lapang itu seperti barisan hantu yang baru bangkit dari kuburan. Lolong anjing dan remang cahaya bulan mengiringi langkah mereka hingga tiba di pelataran rumah Ladimi.

Terang nyala petromaks dan api obor mampu menyibak kabut pekat malam buta, namun tak mampu menyibak kabut pekat di kepala mereka. Dua orang lelaki menendang pintu rumah Ladimi hingga terbuka. Pemuda itu sedang tertidur saat hantaman keras mendarat di pelipisnya.

Beberapa orang melempar obor ke atap dan beranda. Tanpa bisa dicegah, kobaran api membumbung ke angkasa, melahap pelan-pelan semuanya. Orang-orang kalap itu bersorak-sorai saat menggiring Ladimi menuju hutan karet di pinggir Kampung Kelingi. Pemuda itu berjalan dengan tangan terikat ke belakang. Sorot matanya memancarkan luka.

Dari kejauhan anjing-anjing menyalak tak berhenti, seolah melolongkan kabar kematian. Ketika mencapai pertengahan hutan, tiba-tiba angin bertiup kencang. Api obor dan segala alat penerangan padam. Orang-orang terpaku dalam kegelapan.

Setelah api obor dan alat penerangan berhasil dinyalakan, mereka kaget bukan kepalang. Di hadapan mereka hanya teronggok seutas tali dan setitik dua titik darah yang membekas di ujung helai rerumputan. Orang-orang beringas itu saling pandang dengan wajah tercekat ngeri. Sesuatu yang ganjil telah terjadi. Ladimi hilang lagi.  (*)




Adam Yudhistira (1985). Saat ini bermukim di Muara Enim, Sumatera Selatan. Cerita pendek, cerita anak, esai, puisi dan ulasan buku yang ditulisnya telah tersiar di berbagai media massa di Tanah Air. Selain menggeluti aktivitas bersastra, ia juga berbahagia mengelola sebuah Taman Baca. Ia bisa dihubungi melalui email: Rambusenyap@gmail.com