Aku Berlari Sendiri

 

 Kutemui kau malam itu

Dengan sedikit cerita

Dengan sedikit kabar derita

Aku menatap matamu yang mulai basah

Kau begitu resah

Entah kenapa, pucat wajahmu

Dingin kulitmu, gelombang rambutmu

Dan segala bau yang ke luar dari tubuhmu

Seolah muncul dari ribuan keringat lelaki

Yang datang setiap malam

Termasuk aku

 

Aku ingin mengajakmu lari menembus malam

Seperti serigala berburu mangsa

Hingga ke sebuah bukit

Di mana rembulan tampak lebih besar

Dan kita mengaum bersama

Merayakan apa yang perlu dirayakan

 

Sebelum kulanjutkan cerita kau lebih dulu menangis

Meski tanpa suara dan air mata

Aku lihat wajahmu lebih pucat dari mayat

Namun, aku tegar dan menatapnya lebih dalam

Aku berlari sendiri

Menembus malam

Melupakanmu

Membakar bayangmu dengan asap rokok

 

Aku terus berlari

Seperti serigala berburu mangsa

Terus berlari

Tanpa tujuan

Tanpa harapan

 


Tersesat di Tengah Malam

 

Malam-malam berlalu begitu saja

Bulan kembali mengecil dan tenggelam

Di manakah kamu cahaya hatiku

Sudah lama aku rindu ingin bertemu

 

Di simpang jalan itu aku telah keliru

Memilih jalan di mana semakin jauh dari rumahmu

Tersesat dan terpeleset

Hingga malam mengubah jalan semakin jauh

 

Hari hari berlalu seperti kereta kelas bisnis

Berjalan dan tak pernah berhenti di stasiun kecil

Namun, aku selalu merasa sepi

Tak saling kenal dengan orang di sebelah yang tertidur pulas

 

Apakah aku masih bisa mencarimu di tumpukan kata

Yang selalu tampak lebih suci dari mulut pemiliknya

Ataukah kamu sekarang berada di rumah seorang pengemis tua

Yang tinggal sendiri dengan anjingnya

 

Malam semakin malam

Aku duduk sendiri di pinggir pasar

Setelah capek kesasar

 

 

Menjenguk Teman Sakit

 

Sengaja aku tak membawa buah atau roti. Kubawa ponsel kamera saja biar bisa kuabadikan ia yang sedang tergolek lemah di atas ranjang. Siapa tahu ia terhibur saat kufoto. Siapa tahu penyakitnya takut melihat lampu kilat ponselku. Siapa tahu ia segera segar lagi. Siapa tahu ia segera bisa kembali tertawa. Tak lupa segera ku-upload ke media sosial biar teman yang lain tahu kalau ia dan aku sedang sakit.


 

 

 Kipas Angin Menyala 24 Jam

 

 malam kian larut

tak ada suara lain selain derit kipas angin yang menempel di tembok

ia tak lelah meski setiap hari harus berputar

memberi sedikit kesejukan pada ruang 3x3 meter

 

entah kenapa setiap saat tubuhku selalu dibanjiri keringat

ia menjelma hujan dan menganak sungai

mengalir menuju kasur busa yang semakin tua

menahan tubuh yang semakin ringkih dimakan usia

 

kipas angin tua yang masih setia berputar

menemani setiap malam

memberi sedikit kesejukan

entah sampai kapan ia berhenti mencintai

diriku yang hanya seonggok sawang

yang melekat erat di dinding kamar



Kadang Pagi Begitu Memuakkan

 

/I/

kadang pagi begitu memuakkan

melihat segala rupa wajah

yang gagal menemu kenangan

 

kadang pagi begitu memuakkan

jalan yang begitu lubang

asap sadis memaksa paru-paru sesenggukan

 

hawa berdesakkan mencari hidung

mana yang akan dijadikan rumah

selama hujan, katanya, langit akan menemukan kenangan

 

mari kita resapi batang demi batang kretek

agar tahu dada memang butuh dipekerjakan

sebelum kita istirahatkan

  

/II/

tersesat dalam bayang tubuhmu

sesaat setelah hujan membasuh retakan tanah

di pagi yang begitu gagal memanggil surya

selalu kita tanyakan ke mana matahari akan tenggelam

katanya, rengkuhlah setiap detik detak jantungmu

jangan biarkan terlena oleh rabun

 

di tubuhku mengalir kamu yang hujan deras

berputar-putar, memaksa rintih itu runtuh

tepat di hari di mana surya bergembira melihat anaknya

menetaskan kamu

 

 

 Benda-benda Milik Doraemon yang Kupinjam Saat Merindukanmu

 

-Baling-baling bambu-

 

Aku akan terbang menembus dinding-dinding udara

Memaksa angin dan membelahnya

Menerabas petir, membungkus hujan air mata

Menjadikan oleh-oleh untukmu

 

 

-Pintu kemana saja-

 

Menembus batas impian serta harapan

Di antara bimbang

Melupakan tempat semula

Berhijrah ke tempat paling sepi

Mungkin puisi tumbuh subur

Meski hujan jarang turun

Kenangan menjalar sepanjang jalan

Aku duduk memandang langit

Berharap hujan membawa genangan

Mungkin juga kenangan

 

Angin dan ingin sudah mendingin

Membeku menusuk dada

Luka, suka, dan cinta menyatu membentuk

Semacam raut wajah

Mungkin wajahmu

 


-Senter pengecil-

 

Mengecilkan tubuh dengan harapan kau tak melihatku

Menyelip di antara kenangan yang ingin kau lupakan

Hujan dan aku bersatu, turun memberisiki atap rumahmu

 

 

-Mesin waktu-

 

Kenangan adalah hal paling rindu

Paling mematikan saat sepi mencekik

Kita mencintai tanpa alasan

Pergi tanpa perpisahan

Hinggap di antara sedih

Ingin kupelajari sesuatu

Yang paling kaubenci dari perihal mencintai

Hingga langkah-langkah menuju bahagia

Misalnya menikah lalu punya anak

Punya rumah dan tak mudah marah







Thoni Mukarrom A. I.

Thoni lahir pada 15 Agustus di Tuban, Jawa Timur. Saat ini, beliau mengabdi di Sampang Madura. Beberapa tulisanya sempat diumumkan media lokal dan nasional (Akbar, Surabaya Post, Jawa Pos, Radar Bojonegoro, Warta Tuban, Sumut Pos, Bali Post, Majalah Sagang, Buletin Jejak, Utusan Malaysia, dan lain-lain), beberapa antologi; antologi penyair bulan purnama Mojokerto (2010), Sehelai Waktu (2011), Bulan Kebabian (2011), puisi untuk kota padangku tercinta (2011), antologi pelajar Mimpi Kecil (2011), antologi puisi untuk Palestina (2011). Cerpen Your Chemical Romance (Diva Press 2011), antologi puisi dan cerpen Lembaga Bhineka (2012), Kumpulan Cerpen tunggalnya Kisah Seekor Kupu-kupu (Shell-jagat tempurung 2012), dll. Beliau dapat dihubungi melalui email: tony.tj88@gmail.com.